Manyala.co – Isu mengenai dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo kembali mencuat di tengah publik. Menanggapi hal itu, Mahfud MD, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, menegaskan pentingnya menjaga kewarasan dalam berpikir konstitusional. Ia mengingatkan bahwa membesar-besarkan isu tersebut hingga menyeretnya ke ranah ketatanegaraan justru berisiko mencederai logika konstitusi dan sistem hukum Indonesia.
Berbicara dalam seminar Undang-Undang Kepresidenan yang digelar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) pada 24 April 2025, Mahfud menyampaikan pandangannya secara terbuka. Dalam kutipan dari kanal YouTube resminya, Mahfud menyatakan bahwa dugaan pemalsuan ijazah memang bisa diproses secara hukum pidana, namun tidak serta merta membatalkan legitimasi jabatan atau keputusan Presiden.
“Kalau itu menyangkut pemalsuan, bisa saja diproses pidana karena mengandung kebohongan publik. Tapi itu tidak otomatis menggugurkan jabatan atau keputusan politik Presiden secara konstitusional,” ujarnya.
Mahfud, yang juga dikenal sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara UII, menekankan bahwa sah atau tidaknya dokumen pribadi seperti ijazah tidak memiliki pengaruh terhadap keabsahan tindakan-tindakan kenegaraan yang telah diambil Jokowi selama menjabat. Ia menilai, secara hukum administrasi dan tata negara, keputusan yang dibuat secara sah oleh presiden tetap berlaku dan memiliki kekuatan hukum.
“Secara prinsip, keputusan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat yang saat itu sah menjabat, tetap dijamin kepastian hukumnya. Tidak bisa dibatalkan hanya karena ada persoalan pribadi,” jelas Mahfud.
Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa jika pendekatan hukum yang digunakan bersifat ekstrem dan tidak proporsional, maka bisa menimbulkan kekacauan besar dalam sistem pemerintahan. Ia memberikan gambaran, jika keabsahan presiden digugat hanya karena urusan ijazah, maka semua kebijakan nasional, pengangkatan menteri, kerja sama internasional hingga keputusan yudisial bisa dianggap tidak sah.
“Kalau semua keputusan Jokowi dianggap gugur karena ijazahnya dipersoalkan, maka artinya negara ini bubar. Menteri yang diangkat tidak sah, perjanjian luar negeri batal, pengangkatan hakim juga ikut terdampak. Itu kan nalar yang tidak sehat dalam berdemokrasi,” tutur Mahfud.
Menurutnya, penting untuk menjaga logika dan proporsi dalam menanggapi isu-isu semacam ini, agar hukum tetap menjadi alat kepastian dan bukan alat kegaduhan.