Oleh: Mashud Azikin (Anggota Dewan Lingkungan Hidup Kota Makassar)
Menjadi bagian dari Dewan Lingkungan Hidup Kota Makassar bukanlah sekadar menerima amanah, melainkan panggilan nurani. Sebab di balik hiruk pikuk pembangunan, Kota Makassar tengah menghadapi tantangan serius: dari persoalan sampah, pencemaran air dan udara, hingga kian sempitnya ruang hijau. Semua itu bukan hanya soal teknis tata kota, melainkan menyentuh dimensi yang lebih dalam—hubungan manusia dengan lingkungan sebagai ruang hidup bersama.
Lingkungan sebagai Cermin Kemanusiaan
Lingkungan selalu menjadi cermin bagaimana manusia memperlakukan sesamanya. Sampah yang menumpuk di selokan bukan hanya soal bau dan banjir, melainkan tanda lemahnya kesadaran kolektif. Pohon yang ditebang tanpa diganti bukan hanya kehilangan oksigen, melainkan berkurangnya rasa tanggung jawab antargenerasi. Dalam bahasa sederhana: krisis lingkungan adalah krisis kemanusiaan.
Sebagai anggota, saya melihat tugas ini tidak berhenti pada mengawasi kebijakan atau meninjau program pemerintah. Lebih dari itu, ini adalah usaha membangun budaya baru: budaya menjaga, budaya merawat, budaya mengembalikan keseimbangan. Lingkungan bukan sekadar obyek pembangunan, tetapi subyek kehidupan.
Makassar di Persimpangan
Makassar adalah kota maritim yang tumbuh dengan cepat. Modernisasi berjalan pesat, namun di sisi lain kualitas lingkungan kerap terabaikan. Tumpukan sampah di pesisir, polusi dari kendaraan, hingga alih fungsi lahan hijau menjadi bangunan beton, menjadi peringatan bahwa kita berada di persimpangan.
Apakah kita ingin Makassar dikenal sebagai kota yang kotor, panas, dan penuh masalah lingkungan? Atau sebagai kota yang mampu menyeimbangkan pembangunan dengan kelestarian alamnya? Jawabannya ada pada langkah kita hari ini.
Jalan Kolektif
Tidak ada satu lembaga pun yang bisa bekerja sendiri. Pemerintah, akademisi, komunitas, pelaku usaha, dan warga biasa harus menempuh jalan bersama. Di sinilah Dewan Lingkungan memainkan peran: menjadi jembatan, ruang dialog, sekaligus penggerak kolaborasi.
Program-program seperti bank sampah, pemanfaatan ecoenzym, penghijauan kota, dan revitalisasi pesisir bukan hanya proyek teknis. Ia adalah simbol kerja kolektif yang mengikat warga dengan rasa memiliki. Kota yang sehat hanya mungkin terwujud jika warganya ikut merawat.
Menjadi Tuan Rumah yang Baik
Bagi saya, tugas ini sederhana namun mendalam: bagaimana menjadikan warga Makassar tuan rumah yang baik bagi kotanya sendiri. Tuan rumah yang menjaga kebersihan halaman, merawat pohon di depan rumah, tidak membuang sampah sembarangan, dan peduli pada sungai serta lautnya.
Sebab pada akhirnya, menjaga lingkungan berarti menjaga kehidupan. Kota ini bukan hanya milik kita hari ini, tetapi juga milik anak cucu yang akan lahir esok.
Dan di titik itulah, tugas sebagai Anggota Dewan Lingkungan bukan hanya soal jabatan, melainkan soal warisan. Warisan berupa kota yang lebih hijau, lebih sehat, dan lebih manusiawi.