Oleh: Prof. Dr. Aminuddin Salle S.H., M.H. (Ketua Dewan Kebudayaan Makassar)
Budaya lokal adalah identitas suatu bangsa, mencerminkan sejarah, nilai, dan karakter masyarakatnya. Namun, banyak fenomena yang menunjukkan penyimpangan makna dalam beberapa tradisi. Seperti yang hangat diperbincangkan baru-baru ini khususnya di media internet tentang penyimpangan budaya lokal Sulawesi selatan yakni beredar foto gadis-gadis mengenakan baju bodo dengan sarung yang lebih pendek dan memamerkan paha mulus sehingga memicu reaksi dari masyarakat.
Di tengah derasnya arus globalisasi, budaya lokal menghadapi tantangan besar. Banyak menimbulkan kesan seperti tradisi mulai terpinggirkan, tergantikan oleh budaya asing yang lebih populer. Video YouTube Portal Media dalam segmen podcast berjudul “Perkembangan Budaya Tidak Boleh Menyimpang” dengan Narasumber Prof. Dr. Aminuddin Salle S.H., M.H. (Ketua Dewan Kebudayaan Makassar) menyoroti bagaimana budaya lokal tidak hanya harus dilestarikan, tetapi juga dijaga agar tidak mengalami penyimpangan yang merusak nilai-nilai aslinya.
Berikut Rangkuman dari tim Manyala.co Mengenai forum tersebut:
Kekhawatiran Terhadap Perubahan Budaya
Prof. Aminuddin membahas fenomena pemakaian sarung khas Gowa (Cora’ La’ba) yang digunakan secara tidak sesuai dengan adat.
“Cora’ La’ba itu sebetulnya dipakai untuk acara-acara kebesaran (acara sakral) Tetapi kok di bawahnya sarung itu, itu tersingkap paha mulus? Keterlaluan ini.” ujar Prof. “ ini sangat mencederai ini adat istiadat kita di Sulawesi Selatan” Tambahnya.
Adat pasti akan mengikuti perkembangan zaman tetapi tidak boleh melakukan perkembangan yang menyimpang karena Budaya Berkembang Sesuai Dengan Keyakinan maka ada nilai-nilai yang tidak boleh dilanggar.
Batasan Kreativitas Dengan nilai adat
Kreativitas itu sangat diperlukan, budaya sendiri itu berkembang sesuai dengan kreativitas, Cuma ada hal-hal yang tidak boleh dilanggar.
Sulawesi Selatan itu adalah masyarakat berbudaya yang religius, artinya itu kaidah-kaidah keagamaan itu bersama-sama secara harmonis dengan perkembangan budaya, oleh sebab itu saya katakan karena masyarakat religius walaupun berkreasi tapi jangan sampai kita terusik dengan menyaksikan bahwa ini menyalahi nilai-nilai budaya dan nilai agama juga yang kita anut.
Boleh berkreasi tetapi sepanjang ada koridornya, ada batasan tertentu, jangan mencederai jangan masyarakat kita yang religius.
Perkembangan Baju Bodo Secara Historis
“Saya sedikit beruntung karena masih bisa melihat itu bentuk baju bodo yang sangat tipis, transparan itu Baju Bodo pada waktu itu yang saya lihat”ujar prof.
“Baju bodo arti lengannya pendek (bodo), karena ini adalah suatu produk budaya maka mengikuti perkembangan masyarakat kita yang semakin religius. Oleh sebab itu maka baju bodo ini tetap ada prinsip-prinsip, seperti Katakanlah misalnya bentuknya yang seperti sekarang ditambahi dengan bagian dalamnya diperpanjang atau ada tambahan baju di dalamnya sehingga bagian luarnya itu tertutup, Kemudian tidak lagi transparan seperti model yang saya dapati dulu itu beberapa puluh tahun yang lalu.” Pungkas Pak Prof.
Dulu baju bodo sangat transparan dan pendek. Seiring perkembangan budaya dan religiusitas masyarakat, pakaian ini dimodifikasi agar lebih tertutup tanpa menghilangkan nilai tradisionalnya.
Menurut Prof. Aminuddin, estetika itu harus selalu berbarengan dengan etika dalam konteks budaya yang berkembang, tetap harus menghormati nilai moral dan adat istiadat. Contoh perubahan budaya yang tetap diterima adalah modifikasi baju bodo dengan jilbab.
Adat dan Norma dalam Konteks Sejarah
“Katakanlah misalnya salah satu contoh itu dikatakan kebiasaan orang Bali pada (ritual) kremasi. pada saat Raja itu dimasukkan di krematorium dibakar, ya maka ada kewajiban dari permaisuri itu untuk melompat masuk ke dalam krematorium mati bersama-sama mengikuti Raja tetapi itu kan dulu ya sebelum kemerdekaan Indonesia”
Dulu, beberapa adat seperti di bali permaisuri yang melompat ke krematorium atau adat bugis pria yang wajib membawa badik, berkembang sesuai masanya. Seiring waktu, adat harus beradaptasi dengan nilai-nilai kemanusiaan dan aturan negara berlandaskan Pancasila.
Budaya Siri’ Na Pacce
Menurut Prof. Aminuddin Siri’ napace. Pertama Siri’ itu adalah harkat dan martabat manusia Makassar dan manusia Bugis. kedua siri’ itu jika orang merasa malu saat tidak bisa berbuat baik dan malu kalau melanggar peraturan. Ketiga Siri’ itu sangat malu kalau dicederai perempuannya (ibu, saudara, istri dll).
Konsep “Siri’ Napacce” menekankan rasa malu dan harga diri dalam budaya Bugis-Makassar. Isi dari Siri’ yaitu Sipakatau’, Sipakalabbere’, Sipakainga, Sipappaccei”
Filosofi di Balik Pakaian Tradisional
Pakaian adat memiliki filosofi tersendiri, seperti lipa’ sabbe yang melambangkan ketekunan perempuan Bugis-Makassar. Keunikan dan kehalusan sarung lipa’ sabbe mencerminkan nilai budaya yang mendalam.
Respon Masyarakat dan Tindakan Korektif
“Itu yang saya katakan bahwa salah seorang teman yang sudah berinisiatif untuk meredahkan (permasalahan), dengan memanggil yang bersangkutan itu sehingga yang bersangkutan itu menyatakan permohonan maaf atas perbuatan keteledoran” Pungkas Prof. “tapi ya harus menjadi Perhatian banyak kalangan agar menjadi pembelajaran jangan sampai terjadi lagi” tambahnya.
Setelah kontroversi muncul, pihak terkait telah menyatakan permintaan maaf atas insiden ini.
Kejadian ini menjadi pembelajaran agar kreativitas tetap menghormati norma budaya dan agama.
Upaya Pelestarian Budaya
Kota Makassar memiliki Hari Kebudayaan pada 1 April, di mana anak-anak memakai pakaian tradisional untuk mempertahankan warisan budaya serta upaya pemerintah seperti pemasangan aksara Lontara di berbagai tempat bertujuan untuk mengenalkan sejarah budaya kepada masyarakat dan wisatawan asing.
Upaya ini penting agar generasi muda tetap menghargai bahasa dan adat mereka sendiri.
Pelestarian Aksara Lontar dan Identitas Budaya
Prof. Aminuddin mengangkat pentingnya aksara lontara sebagai warisan budaya yang menarik minat orang luar negeri. Keunikan bangunan dan adat Indonesia harus dijaga seperti bangsa lain yang bangga dengan warisan sejarah mereka.
Prof. Aminuddin menutup dengan menekankan pentingnya menjaga filosofi budaya agar tidak tergerus oleh modernisasi yang tidak selaras dengan nilai lokal.
Makassar, 13 Februari 2025
Source: PortalMediaid
Baca Juga
Komentar