Manyala.co – Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS memicu kekhawatiran publik akan keberlanjutan program unggulan Presiden Prabowo Subianto, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Danantara. Ekonom dan pengamat pasar mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah evaluatif dan strategis.
Pada Kamis (3/4/2025), nilai tukar rupiah terjun bebas hingga menyentuh angka Rp 16.774 per Dolar AS. Meskipun sempat menguat pada pembukaan perdagangan Jumat (4/4) menjadi Rp 16.653, kekhawatiran tetap membayangi akibat tekanan eksternal dan internal.
Penyebab utama depresiasi ini, menurut Fadhil Hasan, Ekonom Senior INDEF, tak hanya berasal dari faktor eksternal seperti kebijakan tarif impor Presiden AS Donald Trump, tapi juga karena ketidakpastian pembiayaan sejumlah program domestik.
“Kalau kita lihat, terjadinya depresiasi rupiah akhir-akhir ini disebabkan karena faktor internal, MBG, Danantara, Koperasi Merah Putih dan banyak lainnya,” ujar Fadhil dalam diskusi daring, Jumat (4/4).
Ia pun menilai perlunya evaluasi dari pemerintah terhadap program-program tersebut untuk menjaga kepercayaan pasar.
“Itu harus ditangkap pemerintah dan harus melakukan evaluasi program tersebut agar bisa meyakinkan publik dan pasar, bahwa ini bisa secara sustain untuk membiayai program tersebut,” lanjutnya.
Kebijakan tarif impor sebesar 32 persen dari Presiden AS Donald Trump terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia, menjadi tekanan tambahan bagi rupiah. Pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi mengatakan, pemerintah harus cepat bertindak untuk memitigasi dampaknya.
“Ini melemahnya cukup tajam, walaupun perdagangan internasional di hari ini pun juga masih berkutat di Rp 16.745, sempat di Rp 16.770,” ungkap Ibrahim kepada kumparan, Kamis (3/4).
Ia bahkan menyarankan langkah balasan terhadap kebijakan proteksionis AS.
“Pemerintah harus melakukan perlawanan terhadap AS dengan menetapkan biaya impor sebesar 32 persen juga terhadap produk-produk yang diimpor dari AS.”
Selain itu, Ibrahim menyarankan agar Indonesia memanfaatkan keanggotaan di blok ekonomi BRICS untuk membuka pasar ekspor baru.
“Negara-negara anggota BRICS harus membuka jalan untuk mengganti tujuan ekspornya di luar AS,” tegasnya.