Manyala.co – Pimpinan Lippo Group akhirnya memenuhi panggilan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) untuk membahas kelanjutan penyelesaian kasus Apartemen Meikarta. Dalam pertemuan tersebut, Lippo berjanji akan mengembalikan dana konsumen yang terdampak paling lambat Juli 2025.
Wakil Ketua Lippo Group, James Riady, didampingi CEO PT Lippo Karawaci Tbk, John Riady, menemui Menteri PKP, Maruarar Sirait, pada Rabu (23/4/2025). Dalam pertemuan itu, mereka sepakat untuk segera mengembalikan uang para pembeli yang telah melaporkan keluhannya melalui kementerian. James menargetkan pengembalian dana untuk 118 korban yang sudah melapor bisa selesai sebelum Juli 2025. Namun, proses akan dipercepat jika dokumen dari konsumen sudah lengkap.
“Kalau bisa lebih cepat, kenapa tidak,” ujar James di kantor Kementerian PKP.
Direktur Jenderal Kawasan Permukiman PKP, Fitrah Nur, menyebut sejak 27 Maret hingga 23 April 2025, ada 118 konsumen yang mengajukan aduan melalui layanan pengaduan BENAR-PKP. Dari jumlah tersebut, 102 orang sudah menyerahkan dokumen lengkap dengan total pembayaran mencapai Rp 26,85 miliar. Sementara, 16 orang lainnya belum melengkapi dokumen mereka.
Dari keseluruhan pelapor, 88 orang ingin uang mereka dikembalikan, dua orang meminta unit segera diserahkan, dan empat lainnya terbuka terhadap dua opsi tersebut. Sisanya belum menentukan keinginan penyelesaiannya.
Menteri PKP, Maruarar Sirait, menekankan bahwa uang konsumen harus dikembalikan secara bertahap dalam tiga bulan, atau paling lambat 23 Juli 2025. Sedangkan bagi pelapor yang belum melengkapi dokumen, mereka diberi waktu hingga 1 Mei 2025 untuk menyerahkan dokumen melalui kanal BENAR-PKP.
Maruarar juga menyampaikan bahwa pemerintah membuka kesempatan bagi korban Meikarta lainnya yang belum melapor untuk mengajukan pengaduan hingga batas waktu tersebut. “Negara harus punya batas waktu yang jelas. Kalau tidak, masalah ini akan berlarut-larut,” katanya.
Pertemuan lanjutan dengan pihak Lippo dan para korban direncanakan awal Juni. Pemerintah menargetkan seluruh pengadu yang terdata sudah mendapatkan haknya sebelum akhir Juli.
Proyek Meikarta Tetap Dilanjutkan
James Riady menjelaskan bahwa saat ini sudah sekitar 20.000 unit apartemen dibangun di Meikarta. Tantangan seperti pengadaan lahan dan pembangunan infrastruktur utama disebut telah berhasil diselesaikan. Ia meyakini proyek ini bisa diselesaikan karena pendanaan bukan menjadi kendala besar—pembangunan dilakukan tanpa utang.
John Riady menambahkan, saat ini Lippo tidak menawarkan produk baru di Meikarta dan memilih fokus menyelesaikan proyek yang ada.
Proyek Meikarta, yang diluncurkan pada 2017, awalnya dirancang sebagai kota mandiri yang ambisius di koridor Jakarta–Bandung, dengan lahan tahap awal seluas 500 hektar dan target pembangunan hingga 22 juta meter persegi bangunan. Antusiasme masyarakat saat peluncuran sangat tinggi, dengan klaim pemesanan mencapai 93.000 unit.
Namun, sejak Maret 2018, pembangunan terhenti secara tiba-tiba, memicu kecemasan konsumen dan akhirnya terungkap kasus korupsi. Pada Oktober 2018, KPK menetapkan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin, tiga kepala dinas, dan Direktur Operasional Lippo Group, Billy Sindoro, sebagai tersangka dalam kasus suap perizinan proyek ini.
Salah satu korban, Sufen dari Tangerang, mengungkapkan bahwa dirinya membeli unit pada 2017 dan dijanjikan menerima kunci pada 2019. Namun hingga kini, ia belum mendapatkan unitnya. Ia berharap uang sebesar Rp 568 juta yang telah dibayarkan bisa dikembalikan penuh. “Saya ingin uang saya kembali. Sudah tidak percaya lagi dengan Meikarta,” ujarnya.
Perlu Pengawasan Lebih Ketat
Pakar hukum perumahan, Muhammad Joni, menyatakan bahwa negara punya tanggung jawab melindungi hak masyarakat, termasuk harta kekayaan. Ia menyarankan pemerintah menerbitkan peraturan presiden yang memberi kewenangan khusus kepada Menteri PKP untuk menyelesaikan kasus seperti ini secara cepat dan efektif, melampaui aturan formal.
Joni juga menekankan pentingnya membuat kebijakan baru yang bisa memberikan jaminan kelayakan jual bagi proyek properti. Hal ini untuk memastikan perlindungan konsumen dari proyek bermasalah. Ia menyarankan adanya undang-undang baru tentang properti dan real estat yang lebih kuat dan adil dibandingkan dengan UU Rumah Susun saat ini.
“Jangan sampai kasus Meikarta terulang, apalagi di Ibu Kota Nusantara. Dunia investasi dan properti kita bisa tercoreng,” kata Joni. Ia juga menekankan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap janji-janji pengembang dalam brosur, kontrak, hingga perjanjian jual beli.