Oleh: Mashud Azikin (Pemerhati dan Pegiat Lingkungan Kota Makassar)
Langkah Pemerintah Kota Makassar di bawah kepemimpinan Wali Kota Munafri Arifuddin yang menghapuskan iuran retribusi sampah bagi warga miskin ekstrem patut diapresiasi, bahkan layak dijadikan preseden kebijakan sosial di tingkat lokal. Ini bukan sekadar pengurangan beban biaya, tetapi bentuk nyata kehadiran negara di tengah warganya yang paling rentan.
Iuran sampah mungkin terlihat kecil bagi sebagian orang. Namun, bagi warga yang hidup dalam kemiskinan ekstrem yang dalam sehari belum tentu dapat memastikan ada makanan di meja, bahkan seribu rupiah pun adalah beban. Mereka hidup dalam ketidakpastian: penghasilan tidak menentu, pekerjaan informal yang tidak menjamin, dan akses terhadap layanan publik yang minim. Maka ketika beban itu diangkat, sekecil apa pun bentuknya, itu adalah bentuk keadilan yang terasa.
Keadilan Bukan Sekadar Angka
Di balik keputusan ini, ada pesan kuat tentang arah kebijakan publik yang berpihak. Kebijakan sosial tidak bisa semata dilihat dari seberapa besar anggaran yang digelontorkan, tetapi dari keberanian politik untuk menyentuh titik paling lemah dalam masyarakat. Ketika sebuah kota mengambil keputusan untuk membebaskan iuran bagi warga miskin, itu bukan karena mereka tidak mampu membayar, tetapi karena mereka tidak seharusnya dibebani.
Keadilan sosial bukan tentang semua orang membayar sama rata, melainkan tentang setiap orang membayar sesuai kemampuan. Maka, menghapus iuran sampah bagi warga termiskin bukan hanya wujud empati, tetapi ekspresi konkret dari prinsip keadilan distributif: yang kuat menopang yang lemah, yang mampu membantu yang tak berdaya.
Harus Dibarengi Kebijakan Turunan
Namun demikian, kebijakan ini tidak boleh berhenti di atas kertas. Perlu verifikasi data yang cermat agar hanya warga miskin ekstrem yang benar-benar menerima manfaat. Di sinilah pentingnya integrasi data antara Dinas Sosial, Dinas Lingkungan Hidup, dan kelurahan. Jangan sampai program ini bocor, salah sasaran, atau dimanfaatkan oleh pihak yang tidak berhak.
Lebih dari itu, perlu edukasi dan pemberdayaan kepada warga penerima manfaat. Pembebasan iuran bisa diintegrasikan dengan kewajiban sosial lainnya: seperti memilah sampah dari rumah, menjadi agen kebersihan lingkungan, atau ikut serta dalam program bank sampah komunitas. Dengan begitu, warga bukan hanya penerima bantuan pasif, melainkan bagian aktif dari solusi persoalan lingkungan kota.
Momentum Membenahi Tata Kelola Sampah Kota
Kebijakan ini juga harus dibaca dalam konteks yang lebih luas: membenahi sistem pengelolaan sampah yang selama ini masih lemah. Beban pengangkutan sampah kian berat, sementara kemampuan finansial daerah dalam mengelola TPA (Tempat Pembuangan Akhir) juga terbatas. Maka, solusi jangka panjang bukan semata menggratiskan iuran, tetapi membangun sistem persampahan yang partisipatif dan berkelanjutan.
Pemerintah kota dapat menjadikan warga miskin sebagai mitra—bukan beban—dalam pengelolaan sampah. Melibatkan mereka dalam kegiatan daur ulang, pengumpulan sampah bernilai ekonomis, atau pelatihan pembuatan eco-enzyme rumah tangga adalah langkah strategis. Kebijakan penggratisan iuran bisa menjadi pintu masuk bagi pemberdayaan dan peningkatan kualitas hidup mereka secara menyeluruh.
Penutup: Kota yang Berpihak adalah Kota yang Beradab
Penghapusan iuran sampah bukanlah keputusan populer semata. Ini adalah refleksi tentang siapa yang layak mendapat perhatian lebih dalam sistem kota: mereka yang paling diam, yang paling tak bersuara, dan yang paling menderita. Kota yang baik bukanlah kota yang megah, tetapi kota yang berpihak.
Makassar telah memulai langkah kecil namun bermakna ini. Semoga kebijakan ini tidak hanya menjadi program sementara di awal masa pemerintahan atau sekadar pencitraan, melainkan menjadi dasar dari bangunan keadilan sosial yang kokoh dan berkelanjutan. Sebab di dalamnya, kita sedang mempertaruhkan tidak hanya nasib warga miskin, tetapi juga martabat kota itu sendiri.