Manyala.co – Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berlangsung sejak pertengahan 2024 hingga awal 2025 kini mulai menunjukkan dampaknya secara luas pada ekonomi nasional. Lesunya konsumsi rumah tangga dalam beberapa kuartal terakhir membuat pemerintah harus kembali menggelontorkan berbagai bentuk insentif demi menjaga pertumbuhan.
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai bahwa dampak dari PHK besar-besaran tersebut sangat terasa, terutama dalam hal menurunnya daya beli masyarakat secara agregat. Bahkan saat momen Lebaran yang biasanya memicu lonjakan belanja pun terasa lesu tahun ini. Banyak pekerja yang terdampak PHK tidak lagi mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR), sehingga perputaran uang di daerah tujuan mudik menjadi jauh lebih terbatas dibanding tahun-tahun sebelumnya.
“Sumber utama dari pelemahan daya beli ini bukan sekadar inflasi, tetapi karena kehilangan pendapatan secara langsung akibat banyaknya pekerja yang terkena PHK,” ujar Huda dalam keterangannya, Minggu (25/5/2025).
Dalam jangka pendek, konsumsi rumah tangga memang masih terlihat karena masyarakat menggunakan simpanan pribadi. Namun, hal ini justru menjadi sinyal yang mengkhawatirkan. Menurut Huda, ketika orang mulai mengandalkan tabungan untuk kebutuhan konsumsi, artinya mereka tidak lagi memiliki pendapatan rutin yang mencukupi. Dalam jangka menengah, pola ini akan memperlemah ketahanan ekonomi rumah tangga.
“Kita melihat bahwa masyarakat mulai menguras tabungannya. Ini artinya mereka tidak lagi punya penghasilan cukup yang bisa disisihkan. Lama-kelamaan ini akan menggerus fondasi keuangan rumah tangga,” jelasnya.
Tak hanya itu, Huda memprediksi bahwa kondisi akan semakin memburuk pada Mei 2025. Momentum Ramadan dan Lebaran yang selama ini menjadi pemicu lonjakan belanja telah berakhir, sementara cadangan keuangan seperti pesangon dan dana pensiun juga mulai menipis. Akibatnya, konsumsi rumah tangga diperkirakan akan melemah drastis pada kuartal II dan III tahun ini.
“Pelemahan konsumsi akan berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional, dan bisa menjadi ganjalan besar untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi pemerintah yang dipatok di angka 5,2 persen,” ujarnya.
Merespons kondisi ini, pemerintah menyiapkan serangkaian program stimulus yang akan diluncurkan mulai Juni 2025. Program-program tersebut meliputi subsidi tarif listrik dan tol, bantuan subsidi upah bagi pekerja berpenghasilan di bawah Rp 3,5 juta, bantuan pangan untuk masyarakat miskin, serta potongan harga untuk transportasi umum. Namun di antara berbagai insentif tersebut, ada juga yang dinilai kurang tepat sasaran.
Salah satu insentif yang menuai kritik adalah subsidi pembelian motor listrik. Huda menganggap kebijakan ini kurang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat, terutama di tengah tekanan konsumsi. “Saya mempertanyakan efektivitas bantuan untuk motor listrik. Menurut saya, itu tidak berdampak langsung pada konsumsi rumah tangga yang sedang menurun,” ujarnya.
Ia menyarankan agar stimulus lebih diarahkan pada kelompok menengah yang memiliki kontribusi besar terhadap perputaran ekonomi nasional. Bantuan seperti sembako dan subsidi upah tetap penting, namun harus dilengkapi dengan insentif yang lebih menyasar kebutuhan sehari-hari masyarakat luas, bukan hanya program strategis jangka panjang yang minim efek ke konsumsi saat ini.
Di tengah pelemahan daya beli dan potensi stagnasi ekonomi, pemerintah didorong untuk lebih cermat dalam merancang kebijakan agar tidak sekadar menggelontorkan stimulus, tapi benar-benar bisa memulihkan kondisi konsumsi rumah tangga sebagai penggerak utama ekonomi nasional.