Manyala.co – Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang digelar sebagai tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil pilkada kembali menuai persoalan. Ironisnya, meski PSU adalah mekanisme resmi yang sah secara hukum, hasilnya di sejumlah daerah justru kembali digugat ke MK. Situasi ini menimbulkan dilema: antara menjamin hak konstitusional warga dan ekses negatif dari pelaksanaan pilkada yang terus berulang.
Sabtu (19/4/2025), PSU tahap ketiga telah selesai dilaksanakan di sembilan kabupaten/kota. Sejak MK memerintahkan PSU di 24 daerah, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menuntaskan pelaksanaannya di 18 wilayah. Namun, tujuh dari PSU yang telah dilakukan pada tahap pertama dan kedua kembali digugat ke MK.
Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja, menyampaikan bahwa hasil PSU terbaru juga berpotensi digugat kembali karena adanya sejumlah pelanggaran. Di antaranya, dugaan politik uang yang terjadi di Serang, Banjarbaru, dan Tasikmalaya, serta pelanggaran kampanye di Pasaman. Temuan-temuan ini masih dalam proses penanganan oleh Bawaslu setempat.
Sebelumnya, Ketua KPU Mochammad Afifuddin mengungkapkan bahwa hingga kini sudah ada tujuh daerah yang kembali menggugat hasil PSU mereka ke MK, yakni Siak, Barito Utara, Puncak Jaya, Pulau Taliabu, Buru, Banggai, dan Kepulauan Talaud.
Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta, menyebut PSU sebagai langkah konstitusional terakhir yang seharusnya tidak terus-menerus digunakan. Menurutnya, jika PSU berulang terjadi, bukan hanya mengganggu stabilitas politik daerah, tetapi juga bisa menyebabkan kekosongan kepemimpinan yang berkepanjangan.
Ia mencontohkan kasus Kabupaten Yalimo, Papua Pegunungan, yang harus menunggu dua tahun untuk mendapatkan kepala daerah definitif karena sengketa pilkada terus berlanjut. Ia juga menyoroti lemahnya kinerja penyelenggara pemilu yang membuat MK merasa perlu memerintahkan PSU berulang.
Kaka menilai ada kemunduran budaya politik yang mengkhawatirkan, seperti maraknya politik uang, ketidaknetralan ASN, dan pelanggaran lainnya. Hal ini, menurutnya, mencerminkan defisit dalam budaya demokrasi lokal yang perlu segera dibenahi.
Meski begitu, MK sebagai penjaga demokrasi tetap punya peran penting untuk memastikan proses pemilu yang adil dan transparan. Hanya saja, ia menekankan agar putusan MK tidak sampai menghambat masyarakat dalam memperoleh pemerintahan yang sah dan definitif.
Beban Fiskal Daerah Meningkat
Dari sisi lain, Direktur Eksekutif KPPOD Herman N Suparman mengingatkan bahwa PSU ulang berpotensi memperberat beban keuangan daerah. Apalagi saat ini pemerintah tengah menjalankan kebijakan efisiensi anggaran. Ia menilai, jika PSU kembali digelar, ruang fiskal daerah yang sudah terbatas akan semakin terhimpit.
Menurutnya, partai politik dan calon kepala daerah sebaiknya bersikap bijak. Jika terus menggugat hasil pemilu, masyarakatlah yang akan paling dirugikan, karena pembangunan tertunda dan anggaran daerah terpaksa dialihkan.
Sebagai contoh, PSU di Kabupaten Parigi Moutong membutuhkan dana sebesar Rp 21 miliar, yang terdiri dari Rp 17 miliar untuk KPU dan Rp 4 miliar untuk Bawaslu. Dana yang tersedia pun masih jauh dari cukup, dan sisanya harus ditutupi oleh hibah pemerintah daerah.
Selain beban anggaran, PSU juga berpotensi mengganggu penyusunan dokumen penting seperti RPJMD dan RKPD. Kedua dokumen ini semestinya sudah disesuaikan dengan visi-misi kepala daerah terpilih untuk periode 2025–2030. Jika kepala daerah definitif belum juga dilantik, maka perencanaan pembangunan daerah pun ikut tertunda.
Kesiapan Hadapi Gugatan
KPU sendiri menyatakan siap menghadapi proses hukum lanjutan di MK. Koordinator Divisi Teknis KPU RI, Idham Holik, menjelaskan bahwa pihaknya akan menyiapkan segala dokumen untuk menjawab permohonan sengketa yang masuk. Jika suatu daerah tidak diregistrasi di Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK), maka KPU akan langsung menetapkan pasangan calon terpilih.
Ketua KPU Afifuddin menegaskan, gugatan ke MK adalah bentuk penyaluran ketidakpuasan yang sah dan harus dihargai. Namun demikian, KPU akan terus berupaya agar pelaksanaan PSU bisa dilakukan sebaik mungkin agar tidak perlu terjadi lagi.
Pada akhirnya, penyelenggara dan pengawas pemilu harus bisa bekerja lebih profesional untuk meminimalkan celah sengketa. Pilkada yang seharusnya menjadi wujud demokrasi, bisa berubah menjadi beban berkepanjangan jika tidak ditangani dengan baik.