Manyala.co – Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), melontarkan kritik tajam terhadap arah kebijakan global yang dinilainya semakin berpihak pada kepentingan geopolitik ketimbang penanganan krisis iklim dan pembangunan berkelanjutan. Dalam pandangannya, dunia kini sedang berada di persimpangan berbahaya karena para pemimpin negara terlalu sibuk dengan urusan nasional masing-masing dan melupakan tanggung jawab kolektif terhadap bumi.
“Ini dangerous karena akhirnya siapa yang menangani agenda global seperti sustainable development, seperti combating climate crisis sekarang ini, siapa? Kalau mereka sibuk untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya sendiri, bukan berarti itu tidak penting, penting I know,” ujar SBY dalam forum Indonesia Energy Transition Dialogue 2025 di Jakarta, Senin (6/10/2025).
Menurut SBY, orientasi politik dunia yang saat ini lebih banyak diarahkan untuk memperkuat kekuatan militer ketimbang menyelamatkan bumi merupakan hal yang sangat memprihatinkan. Ia menilai, tren global telah berubah drastis, di mana anggaran dan energi lebih difokuskan pada keamanan geopolitik, bukan pada upaya menurunkan emisi karbon atau mengatasi penyakit global.
“Uang secara global lebih banyak sekarang diarahkan membangun kekuatan militer untuk tujuan pengamanan geopolitik dan seterusnya, bukan lagi untuk menangani isu lingkungan, mengurangi communicable diseases around the globe, untuk menyukseskan pembangunan bangsa-bangsa berdasarkan sustainable development concept,” tutur SBY.
Dalam pandangan mantan Presiden dua periode itu, tantangan global seperti perubahan iklim dan krisis kemanusiaan tidak bisa diselesaikan apabila negara-negara besar hanya berpikir secara sempit. Ia bahkan menyebut situasi tersebut sebagai bentuk kemunduran moral dunia modern. “For me it is not only irresponsible, tapi juga immoral. Karena tahu buminya akan kiamat, karena tahu masa depan generasi berikutnya lagi akan hilang,” tegasnya.
SBY juga menyinggung bahwa tidak semua pemimpin dunia memiliki kesadaran yang sama terhadap ancaman perubahan iklim. Ia menilai, sebagian pemimpin masih tidak percaya dengan fakta ilmiah, sementara yang lain meyakini namun tidak berbuat apa-apa. “Bahkan cenderung mempengaruhi yang lain ‘sudahlah, nomor sekian itu, yang penting kepentingan nasional kita di atas segalanya’,” ucapnya dengan nada prihatin.
Sebelumnya, dalam pidato kebangsaan bertajuk The World Disorder and The Future of Our Civilization di Jakarta Selatan pada Juli 2025, SBY telah lebih dulu mengingatkan dunia tentang bahaya krisis iklim yang dapat menjadi faktor utama runtuhnya peradaban manusia. “Kita tahu bahwa dalam sejarah, banyak peradaban besar yang runtuh karena kegagalan mengelola lingkungan hidup dan sumber daya alamnya,” ujar SBY kala itu.
Ia menjelaskan, suhu bumi kini telah naik 1,1 derajat celcius dibandingkan masa praindustri, sementara kadar CO2 meningkat 2,8 part per million hanya dalam setahun. “Sisa kuota karbon dunia tinggal 200 gigaton yang bisa habis dalam waktu satu dekade, dalam 10 tahun jika tidak ditekan secara drastis,” ungkapnya.
Menurut SBY, kegagalan mengatasi krisis iklim akan menimbulkan efek domino berupa kekeringan panjang, kenaikan permukaan air laut, krisis pangan, hingga migrasi besar-besaran lintas benua. Ia bahkan menyebut bahwa tanpa tindakan nyata sebelum 2060, masa depan umat manusia akan menghadapi kegelapan peradaban. “If we fail untuk membuat dunia sebelum tahun 2060, jika kita gagal membuat Indonesia tahun 2060 menjadi net zero world, net zero Indonesia, selebihnya gelap. Ini real, bukan fiksi,” katanya.
SBY pun menekankan bahwa para politisi harus menanggalkan ego politiknya dan mempercayakan arah kebijakan iklim pada para ilmuwan. “Politisi harus percaya kepada saintis. Urusan climate change must be guided by science, not by politics,” ujarnya menutup pidato.
Lewat kritik dan peringatannya itu, SBY seakan menegaskan bahwa dunia kini berada dalam krisis ganda antara kepentingan geopolitik yang meningkat dan ancaman eksistensial akibat perubahan iklim yang kian nyata.