Manyala.co – Sebuah titik balik besar dalam sejarah pertanian Indonesia terjadi di Papua Selatan. Tepatnya di Distrik Wanam, Kabupaten Merauke, panen padi perdana pada Jumat (16/5/2025) menghadirkan kejutan besar. Tak hanya karena hasilnya yang mencapai 2,5–2,8 ton per hektare tanpa bantuan teknologi canggih, tetapi juga karena panen ini menggugurkan anggapan lama bahwa Papua tidak cocok untuk pertanian.
Dalam kacamata pengamat ekonomi dan kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Freesca Syafitri, panen tersebut bukan sekadar keberhasilan teknis. Ia menyebutnya sebagai langkah awal dari perubahan orientasi pembangunan nasional yang lebih adil secara spasial dan sosial. Program cetak sawah seluas satu juta hektare yang merupakan inisiatif Presiden Prabowo Subianto ini menjadi simbol nyata dari transformasi itu.
Nama Andy Syamsuddin Arsyad, atau lebih dikenal sebagai Haji Isam, disebut-sebut berperan besar di balik keberhasilan tersebut. Pengusaha asal Kalimantan Selatan dan pemilik Jhonlin Group itu tidak hanya mendukung ide, tetapi juga mewujudkannya dalam bentuk nyata. Salah satu langkah konkret yang ia ambil adalah memesan 2.000 ekskavator dari Tiongkok untuk mempercepat proses pembukaan lahan pertanian di kawasan tersebut.
Menurut Freesca, keberhasilan panen ini juga berhasil menepis keraguan yang selama ini muncul terkait potensi Papua sebagai lumbung pangan. Ia menyoroti bahwa selama bertahun-tahun, determinisme lingkungan telah membentuk asumsi sempit bahwa pertanian hanya cocok di wilayah tertentu saja. Padahal, berdasarkan survei tanah dan air, Wanam memiliki karakteristik lahan yang sangat sesuai untuk pengembangan sektor pertanian.
Pemilihan varietas padi yang tahan terhadap kondisi lokal, seperti Inpara, dan penerapan teknik tanam sederhana tanpa pupuk kimia sintetis menjadi bukti bahwa pendekatan berbasis lokal mampu menandingi hasil pertanian di wilayah lain yang lebih modern. Hal ini menjadi sinyal penting bahwa modernisasi pertanian tak harus identik dengan mesin atau input industri, melainkan bisa berbasis pada keberlanjutan dan kearifan lokal.
Namun, cerita di Wanam bukan hanya soal panen. Ada transformasi sosial yang jauh lebih besar terjadi. Masyarakat yang selama ini hidup dari pola berburu dan meramu mulai diperkenalkan dengan pertanian melalui pendekatan edukatif yang tidak memaksa. Ini menciptakan generasi baru yang bukan hanya bekerja di sektor pertanian, tetapi menjadi bagian sadar dari sistem ketahanan pangan nasional—sebuah proses yang oleh Freesca disebut sebagai lahirnya agricultural citizenship.
Freesca, yang juga menjabat sebagai Wakil Direktur di German Centre dan dosen FEB UPNVJ, menyatakan bahwa tantangan geopolitik pangan global menuntut Indonesia untuk tidak hanya mengejar peningkatan produksi. Lebih dari itu, Indonesia harus memastikan distribusi hasil pertanian yang adil, baik secara geografis maupun sosial. Dalam konteks ini, Papua Selatan bisa menjadi preseden penting: bahwa pembangunan pangan bisa bersifat regeneratif, memberdayakan tanah sekaligus manusianya.
Menariknya, meskipun panen di Papua Selatan dilakukan tanpa teknologi tinggi, hasilnya tetap kompetitif. Freesca menegaskan bahwa hal ini membuka peluang besar untuk mengembangkan sistem pertanian komunitas yang menggunakan pendekatan low-input, yakni minim bahan kimia dan memaksimalkan sinergi dengan kondisi alam setempat.
Ia juga menekankan perlunya pendekatan pembangunan yang kolaboratif. Alih-alih pendekatan top-down yang selama ini mendominasi, ia mendorong sistem co-production of knowledge—di mana pemerintah, akademisi, masyarakat lokal, dan sektor swasta bekerja bersama. Proses edukasi bertahap yang diterapkan di Wanam menjadi contoh nyata dari pendekatan ini.
Keberhasilan di Wanam juga menggeser pusat narasi ketahanan pangan nasional dari Pulau Jawa ke kawasan timur Indonesia. Selama ini, wilayah timur sering dianggap sebagai pelengkap atau cadangan, bukan aktor utama. Padahal, menurut Freesca, keberhasilan ini menunjukkan bahwa Papua mampu menjadi pemain utama dalam strategi ketahanan pangan nasional yang baru.
Ia menambahkan bahwa proyek cetak sawah satu juta hektare ini harus dipahami bukan sekadar sebagai target jumlah lahan, tetapi sebagai simbol dari reorientasi pembangunan. Fokusnya bukan lagi pada pusat, melainkan pada pinggiran yang selama ini kurang mendapat perhatian. Papua Selatan, menurutnya, telah menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang tepat, kawasan yang dianggap terbelakang justru bisa menjadi pelopor.
Freesca menyimpulkan bahwa apa yang terjadi di Wanam bukan akhir dari cerita, tetapi justru pembuka jalan menuju model pembangunan pangan Indonesia yang lebih adil, berkelanjutan, dan berakar pada kekuatan lokal. “Kalau Papua dengan segala keterbatasan infrastrukturnya bisa bangkit dan menjadi contoh, maka semua wilayah lain di Indonesia juga memiliki peluang besar untuk berkontribusi dalam menghadapi krisis pangan global,” tegasnya.