Manyala.co – Ketegangan antara Israel dan Iran bukan sekadar urusan geopolitik Timur Tengah. Dampaknya sudah mulai dirasakan di pasar global, terutama sektor energi dan keuangan. Harga minyak mentah melonjak signifikan, sementara para analis memperingatkan potensi ancaman terhadap pertumbuhan ekonomi dunia jika konflik terus berlarut.
Oxford Economics melalui Chief US Economist, Ryan Sweet, mengungkapkan bahwa lonjakan harga minyak akibat konflik ini berpotensi memicu langkah tidak terduga dari bank sentral Amerika Serikat. Ia menyebutkan bahwa tekanan terhadap pasar tenaga kerja dan melemahnya permintaan dapat membuat The Federal Reserve (The Fed) mempertimbangkan pemangkasan suku bunga lebih cepat dari yang diprediksi sebelumnya.
“Sejarah mencatat bahwa lonjakan harga minyak biasanya hanya berdampak jangka pendek pada inflasi dan sering kali diabaikan oleh The Fed. Tapi kali ini berbeda, karena kondisi ekonomi AS sedang melambat dan rapuh,” ujar Sweet. Menurutnya, jika harga energi tetap tinggi dalam waktu lama, hal itu bisa menjadi pukulan serius bagi lapangan kerja dan daya beli konsumen.
Salah satu momen penting terjadi awal pekan ini ketika harga minyak Brent melonjak menembus angka USD 75 per barel, sementara minyak West Texas Intermediate (WTI) bertahan di kisaran USD 74. Lompatan ini dipicu oleh pernyataan keras Presiden AS yang meminta warga Teheran mengungsi dan menolak opsi gencatan senjata. Ini kontras dengan optimisme sebelumnya saat media Wall Street Journal melaporkan adanya potensi deeskalasi konflik.
Sweet memperkirakan The Fed tetap akan menunggu hingga Desember untuk memangkas suku bunga. Namun jika ketegangan terus mendorong harga minyak naik, langkah pelonggaran bisa datang lebih cepat. “Dampak negatif terhadap pertumbuhan lebih sulit dipulihkan dibandingkan inflasi. Maka The Fed bisa lebih fleksibel dalam menyesuaikan arah kebijakan moneternya,” tambahnya.
Tak hanya soal bunga dan inflasi, ancaman perang juga berimbas pada sektor logistik global. Analis Barclays, Amarpreet Singh, memperingatkan bahwa konflik berpotensi meluas ke negara-negara produsen minyak dan gas lain di kawasan Teluk. Jika itu terjadi, jalur pengiriman bisa terganggu, yang otomatis mendorong harga energi dan barang kebutuhan lainnya naik drastis.
Pusat perhatian saat ini tertuju pada Selat Hormuz, jalur sempit yang memisahkan Iran dari Oman dan Uni Emirat Arab. Sekitar 20% perdagangan minyak global sekitar 18-19 juta barel per hari melewati perairan ini. Jika jalur ini ditutup atau terganggu, pasar energi global bisa terguncang hebat.
Chief Analyst Xeneta, Peter Sand, menjelaskan bahwa jika pengiriman harus dialihkan untuk menghindari kawasan konflik, maka tarif angkut pun akan melonjak. Biaya logistik yang lebih mahal berisiko mendorong harga barang lain seperti makanan dan kebutuhan pokok.
Dari sisi inflasi, ancaman lain juga membayangi. Jika harga energi naik secara konsisten, maka tren deflasi yang sempat dirasakan dalam beberapa bulan terakhir bisa berbalik. Laporan Consumer Price Index (CPI) AS bulan Mei menunjukkan harga gas telah turun 12% dalam setahun terakhir, dan sektor energi turun 1% secara bulanan. Jika tren ini berbalik karena konflik, inflasi bisa kembali mendekati angka 6%.
Kondisi ini akan menjadi dilema bagi The Fed karena mereka harus menyeimbangkan antara menjaga kestabilan harga dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika inflasi naik tajam karena harga energi, pemangkasan suku bunga bisa tertunda hingga awal 2026.
Stephen Juneau, ekonom senior dari Bank of America, mengatakan bahwa ini bisa menjadi awal dari skenario stagflasi—ketika pertumbuhan ekonomi melambat namun inflasi meningkat. “Kondisi ini cukup mengkhawatirkan dan akan menjadi perhatian utama dalam rapat FOMC mendatang,” ujarnya.
Dari sisi global, meski ada sanksi atas ekspor minyak Iran, negara tersebut masih memasok minyak ke sejumlah negara besar seperti China dan India. Gangguan dari Iran bisa memperkeruh kondisi pasokan global yang sudah rapuh akibat ketegangan geopolitik dan ketidakpastian iklim.
Secara keseluruhan, konflik Israel-Iran tidak hanya berdampak pada geopolitik kawasan, tapi juga membuka potensi guncangan yang jauh lebih besar terhadap ekonomi dunia. Pasar, konsumen, dan pelaku industri kini bersiap menghadapi ketidakpastian yang makin meningkat, sembari berharap ketegangan tak berkembang menjadi krisis yang lebih luas.