Manyala.co – Kebijakan Zero ODOL (Over Dimension Over Loading) yang direncanakan akan diberlakukan penuh mulai tahun 2026 memantik gelombang unjuk rasa dari para sopir truk di berbagai daerah. Kamis (19/6/2025), ribuan sopir turun ke jalan, memarkirkan kendaraan mereka di titik-titik strategis untuk menyuarakan penolakan terhadap regulasi yang dinilai hanya menyudutkan para pengemudi.
Bandung: Akses Tol Diblokir, Tuntutan Sosialisasi Bukan Sanksi
Di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, ribuan truk menghentikan operasionalnya dan memenuhi ruas jalan keluar Tol Soreang–Pasirkoja (Soroja). Aktivitas arus lalu lintas menuju pusat pemerintahan lumpuh selama lebih dari dua jam. Aksi ini dipimpin oleh Koordinator Aksi Bandung Selatan, Cecep Beetle, yang menilai bahwa pemberlakuan aturan ODOL akan berdampak langsung pada kesejahteraan sopir serta masyarakat luas yang turut bergantung pada distribusi logistik.
Sebelum aksi pemblokiran jalan dilakukan, perwakilan sopir sempat berdialog dengan pihak Dinas Perhubungan setempat. Hasilnya, wilayah Bandung Selatan hanya akan melakukan sosialisasi mengenai ODOL, tanpa sanksi, dan belum memberlakukan ketentuan mengenai penambahan chasis kendaraan. “Yang disosialisasikan hanya soal muatan berlebih, bukan dimensi,” ujar Cecep.
Trenggalek: Penolakan ODOL Dibungkus Tuntutan Anti Premanisme
Sementara itu, di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, lebih dari 280 unit truk berkumpul di depan kantor DPRD setempat. Para sopir menuntut bukan hanya pembatalan kebijakan ODOL, tetapi juga pemberantasan aksi premanisme yang kerap mengintai sopir di jalan raya. Mereka juga mendesak agar biaya logistik disesuaikan dan menuntut revisi atas Undang-Undang Lalu Lintas Jalan Nomor 22 Tahun 2009.
Soetrisno, salah satu sopir, menyampaikan bahwa para pengemudi kerap menjadi korban kebijakan yang tidak menyentuh akar persoalan. “Keadilan hukum tidak bisa hanya menimpa sopir. Preman jalanan dan pungli masih merajalela, sementara kita hanya menjalankan tugas,” ucapnya.
Surabaya: Ribuan Sopir Long March, Kritik Penegakan Hukum yang Tebang Pilih
Di Surabaya, aksi jauh lebih besar digelar oleh Gerakan Sopir Jawa Timur (GSJT), melibatkan lebih dari 1.200 orang dan ratusan truk. Mereka melakukan long march dari depan Cito Mall menuju kantor Dinas Perhubungan Jawa Timur dan Markas Polda Jatim. Ketua GSJT, Angga Firdiansyah, menyuarakan kekecewaan atas pelaksanaan hukum yang dinilai tidak adil.
Angga menyoroti ketimpangan dalam implementasi Pasal 277 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menurutnya kerap menjerat sopir truk padahal peraturan tersebut seharusnya menyasar perubahan fisik kendaraan. Ia juga menyoroti bahwa pengusaha dan pemilik barang, yang menentukan muatan truk, justru tidak pernah tersentuh hukum.
“Kami ini hanya operator. Kami yang menanggung risiko hukum, sementara pemilik muatan bebas dari tanggung jawab. Ini tidak adil,” kata Angga dalam orasinya.
Tuntutan Serempak: Cabut ODOL, Revisi Undang-Undang, dan Berantas Pungli
Dari Jawa Barat hingga Jawa Timur, para sopir membawa aspirasi yang hampir identik. Mereka menolak keras penerapan kebijakan ODOL tanpa solusi nyata, mendesak revisi Pasal 277 UU LLAJ, serta menuntut agar aparat penegak hukum tidak hanya menyasar sopir dalam proses penindakan.
Selain itu, sopir juga menuntut diberantasnya pungutan liar dan aksi premanisme yang kerap menyasar mereka di rest area, terminal, hingga jalan tol. Tak ketinggalan, penyesuaian tarif logistik juga masuk dalam daftar tuntutan, mengingat beban kerja dan tanggung jawab sopir semakin besar dengan kebijakan baru.
Protes ini menunjukkan bahwa pelaksanaan aturan ODOL bukan hanya perkara regulasi teknis semata, melainkan juga menyangkut keadilan struktural dan keberlangsungan hidup para pekerja logistik yang selama ini menjadi tulang punggung distribusi barang di Indonesia. Para sopir berharap pemerintah pusat tidak menutup telinga terhadap jeritan mereka dan mau mencari solusi yang lebih manusiawi dan menyeluruh.