11.000 Buruh pekerja Sritex mengalami PHK massal setelah perusahaan dinyatakan pailit, meskipun sebelumnya pemerintah berjanji tidak akan terjadi pemutusan hubungan kerja.
Akhir Oktober 2024, Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer Gerungan berkunjung ke PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex).
Hari itu, di hadapan buruh, dia secara tegas menyatakan kehadiran pemerintah atau negara menyusul putusan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Semarang pada Rabu (21/10) lalu.
“Yang jelas Pemerintah, negara hadir di tengah buruh/pekerja. Pemerintah, negara hadir di tengah-tengah pengusaha, khususnya Pak Iwan (Dirut Sritex-red). Jadi tak boleh lagi ada keresahan atau kegelisahan,” kata Noel sapaan akrab Immanuel Ebenezer Gerungan, Oktober 2024.
Tangis pekerja pun peach mendengar janji Wamenaker Noel yang menyatakan tak ada PHK terhadap buruh/pekerja. Meskipun, pabrik tekstil terbesar di Asia Tenggara tersebut telah dinyatakan pailit.
“Saya pastikan tak ada PHK terhadap buruh PT Sritex. Hal ini disepakati pihak manajemen yang diwakili Iwan Setiawan Lukminto sebagai Owner PT. Sritex” ucapnya.
Awal Januari 2025, Wamenaker Noel kembali memberikan janji. Noel memastikan tidak akan ada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Sritex.
Janji Noel tidak sesuai kenyataan. Pil pahit justru harus diterima ribuan buruh, Sebulan kemudian, Februari 2025, 11.000 karyawan Sritex dan anak perusahaannya justru terkena PHK massal. Karyawan dikenakan PHK per tanggal 26 Februari, terakhir bekerja pada hari Jumat 28 Februari. Perusahaan ditutup mulai tanggal 1 Maret 2025.
“Jumlah karyawan Sritex yang terkena PHK sebanyak 8.400 orang. Urusan pesangon menjadi tanggung jawab Kurator. Sedangkan jaminan hari tua, menjadi kewenangan BPJS Ketenagakerjaan,” ujar Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Sukoharjo, Sumarno.
Kejadian ini terjadi setelah Pengadilan Niaga Semarang memutuskan Sritex pailit. Pernyataan Wamenaker yang menjanjikan perlindungan hak-hak buruh, termasuk pesangon dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), terbukti tak sesuai kenyataan. PHK massal ini menimbulkan dampak sosial ekonomi yang signifikan bagi para pekerja dan keluarga mereka.
Meskipun pemerintah, melalui Kementerian Ketenagakerjaan, berupaya membantu para pekerja mendapatkan hak-haknya dan mencarikan pekerjaan baru, janji awal pemerintah yang menyatakan tidak akan ada PHK jelas telah mengecewakan banyak pihak.
Kejadian ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi informasi dan efektivitas kebijakan pemerintah dalam melindungi pekerja di tengah krisis ekonomi. Dampak PHK massal ini meluas, tidak hanya pada kehidupan ekonomi para pekerja, tetapi juga pada stabilitas sosial di wilayah Sukoharjo dan sekitarnya.
Perwakilan buruh dari PT Bitratex Industries, salah satu anak perusahaan Sritex, Nanang Setiyono, mengungkapkan semua karyawan Sritex Group sudah menerima pemberitahuan resmi terkait PHK.
Menurut Nanang, pemberitahuan PHK sudah dikirim melalui pimpinan perusahaan masing-masing. Untuk karyawan Bitratex, PHK bahkan sudah dimulai sejak 24 Januari 2025.Dia menjelaskan keputusan PHK ini memberikan kepastian hukum bagi para pekerja. Mereka bisa mengajukan pesangon, gaji yang tertunda, Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
“Yang pasti, terhitung sejak tanggal 26 Februari 2025 seluruh karyawan Sritex sudah di-PHK,” jelas ujar Nanang.
Sejak Kamis (27/2/2025), ribuan karyawan PT Sritex mulai mengemasi barang barangnya. Pukul 15.00 WIB para karyawan mulai keluar dari tempat kerjanya.
Ada pula yang sengaja membawa beberapa bingkai foto, potret pendiri Sritex, HM Lukminto bersama sejumlah orang yang berkesan di matanya.
“Di Sritex ini berkenang banget. Saya dapet pasangan, dapet anak, sampai sudah sekolah. Udah 20 tahun. Ya banyak kenangan momen sama teman-teman juga banyak. Temen teman biasanya ngumpul terus di rumah,” ujar Sri Wiyani, salah satu karyawan.
Karyawan Sritex resmi berhenti bekerja mulai Maret 2024, sesuai pengumuman Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Kabupaten Sukoharjo. Keputusan ini diambil setelah putusan pailit dari Pengadilan Niaga Semarang. Kepala Disperinaker Kabupaten Sukoharjo, Sumarno, menyatakan bahwa PHK telah diputuskan pada 26 Februari 2024.
Pemerintah Kabupaten Sukoharjo bahkan menyediakan 8.000 lowongan kerja untuk membantu para pekerja yang terkena dampak PHK ini. Namun, angka tersebut masih jauh dari jumlah total karyawan yang di-PHK, menunjukkan besarnya tantangan yang dihadapi para pekerja untuk mencari pekerjaan baru.
Kronologi Pailitnya Sritex dan PHK Massal
PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, resmi dinyatakan pailit pada Oktober 2024 oleh Pengadilan Niaga Semarang. Keputusan ini diperkuat oleh Mahkamah Agung pada Desember 2024 setelah menolak permohonan kasasi dari manajemen Sritex. Pailitnya Sritex disebabkan oleh ketidakmampuan perusahaan melunasi utang yang mencapai lebih dari Rp32 triliun.
Masalah keuangan Sritex mulai mencuat pada Mei 2021 ketika perusahaan gagal membayar utang sindikasi sebesar US$350 juta. Kegagalan ini memicu kekhawatiran di kalangan kreditur, yang kemudian mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap Sritex. Pada Januari 2022, Sritex berhasil mencapai kesepakatan perdamaian dengan kreditur yang disahkan melalui putusan homologasi. Namun, dalam dua tahun berikutnya, perusahaan gagal memenuhi isi perjanjian tersebut, yang akhirnya berujung pada pembatalan kesepakatan dan penetapan status pailit.
Akibat keputusan pailit ini, Sritex mengumumkan penutupan total operasionalnya efektif per 1 Maret 2025. Langkah ini berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap ribuan karyawan. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan mencatat bahwa hingga 26 Februari 2025, sebanyak 10.665 karyawan Sritex Group telah terkena PHK. Jumlah terbesar berasal dari pabrik di Sukoharjo, dengan 8.504 karyawan terdampak.
Pemerintah, melalui Wakil Menteri Ketenagakerjaan, menyatakan komitmennya untuk membantu para pekerja yang terdampak. Upaya yang dilakukan antara lain memfasilitasi pencairan hak-hak pekerja seperti pesangon dan Jaminan Hari Tua (JHT), serta menyediakan akses ke lowongan pekerjaan baru dan pelatihan keterampilan melalui Balai Latihan Kerja (BLK).
Penutupan Sritex dan PHK massal ini menimbulkan keprihatinan mendalam, mengingat sebelumnya pemerintah telah berupaya mencegah terjadinya PHK dengan berbagai intervensi. Namun, kondisi finansial perusahaan yang memburuk dan keputusan hukum yang telah berkekuatan tetap membuat langkah-langkah tersebut tidak dapat mencegah penutupan dan PHK massal.