Manyala.co – Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung) telah mencegah Iwan Kurniawan Lukminto, pemimpin perusahaan tekstil raksasa PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), untuk bepergian ke luar negeri. Pencegahan ini dilakukan sejak 19 Mei 2024 dan berlaku selama enam bulan ke depan, sebagai bagian dari penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi yang menyeret nama-nama penting di sektor perbankan dan industri tekstil nasional.
Hal ini dikonfirmasi langsung oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar. “Iya benar, IKL (Iwan Kurniawan Lukminto) telah dilakukan pencegahan,” ujar Harli saat dimintai keterangan pada Sabtu (7/6/2025).
Pihak Kejagung juga menginformasikan bahwa Iwan akan menjalani pemeriksaan lanjutan dalam waktu dekat. “Informasi dari penyidik, terhadap yang bersangkutan akan dilakukan pemeriksaan lanjutan pekan depan,” lanjut Harli.
Sebelumnya, Kejagung telah lebih dulu menetapkan Iwan Setiawan Lukminto yang kala itu menjabat sebagai Direktur Utama Sritex, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian kredit oleh PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (Bank BJB) serta PT Bank DKI Jakarta kepada PT Sritex Tbk. Selain Iwan, penyidik juga menetapkan DS, pimpinan Korporasi dan Komersial Bank BJB tahun 2020, serta YM, Direktur Utama Bank DKI tahun yang sama, sebagai tersangka.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa nilai kerugian negara yang ditimbulkan dari kasus ini mencapai Rp692 miliar. Ia menjelaskan bahwa kejanggalan mulai terdeteksi dari laporan keuangan Sritex yang mencatat lonjakan kerugian luar biasa dalam waktu singkat.
“PT Sri Rejeki Isman Tbk merupakan perseroan terbatas yang bergerak di bidang industri tekstil dengan kepemilikan saham mayoritas oleh PT Huddleston Indonesia sebesar 59,03 persen dan 40,97 persen saham publik,” jelas Qohar dalam konferensi pers, Rabu (21/5) malam.
Qohar juga menyoroti perubahan drastis kondisi keuangan perusahaan dalam dua tahun terakhir. Pada 2020, Sritex masih mampu mencetak keuntungan sebesar USD 85,32 juta (sekitar Rp1,24 triliun), namun setahun berselang, perusahaan justru mengalami kerugian sebesar USD 1,08 miliar atau sekitar Rp15,65 triliun. Hal ini memicu pertanyaan mengenai integritas pengelolaan keuangan dan penggunaan dana perusahaan.
“Jadi ini ada keganjilan. Dalam satu tahun, mengalami keuntungan signifikan lalu tahun berikutnya langsung merugi besar,” ujar Qohar.
Selain itu, ditemukan fakta bahwa utang Sritex dan anak usahanya kepada berbagai bank, termasuk bank milik negara dan daerah, mencapai lebih dari Rp3,58 triliun per Oktober 2024. Kredit tersebut diperoleh dari lebih dari 20 bank, baik swasta maupun pemerintah.
Dalam proses pengajuan kredit, pihak bank disebut telah melanggar sejumlah prosedur. Qohar menyebut bahwa penilaian kelayakan tidak dilakukan secara memadai. Bahkan, lembaga pemeringkat telah menyatakan bahwa Sritex memiliki risiko gagal bayar tinggi, namun tetap saja diberikan pinjaman besar tanpa jaminan.
“Padahal seharusnya pemberian kredit tanpa jaminan hanya bisa diberikan kepada debitur dengan peringkat A,” terang Qohar.
Lebih lanjut, Iwan selaku Direktur Utama Sritex diduga tidak menggunakan dana pinjaman sesuai peruntukan. Dana yang seharusnya digunakan sebagai modal kerja justru dipakai untuk membayar utang lama dan membeli aset non-produktif.
“Disalahgunakan untuk membayar utang dan membeli aset non-produktif sehingga tidak sesuai dengan tujuan kredit,” tambah Qohar.
Akibat dari praktik pemberian kredit bermasalah tersebut, PT Sri Rejeki Isman Tbk akhirnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang, melalui putusan nomor perkara 2/PDT.SUS-homologasi/2024/PN Niaga Semarang.
“Kerugian negara dari total kredit yang belum dilunasi mencapai Rp692.980.592.188,” tutup Qohar.