Manyala.co – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 hingga akhir Maret menunjukkan defisit sebesar Rp104,2 triliun. Angka ini setara dengan 16,9 persen dari total defisit yang ditargetkan tahun ini, yakni Rp616,2 triliun.
Meski angka defisit terbilang besar, Sri Mulyani menegaskan bahwa kondisi fiskal masih terkendali. “Defisit sebesar 2,53 persen dari PDB itu sudah sesuai dengan Undang-Undang APBN 2025 dan tetap berada dalam batas aman,” ujarnya dalam acara Silaturahmi Ekonomi bersama Presiden RI di Jakarta, Rabu (9/4).
Sebagai catatan, ambang batas defisit APBN yang diizinkan menurut Undang-Undang Keuangan Negara adalah maksimal 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Pendapatan Negara Masih Jauh dari Target
Salah satu penyebab defisit adalah pendapatan negara yang belum optimal. Hingga Maret 2025, penerimaan negara baru mencapai Rp516,1 triliun, atau 17,2 persen dari target tahunan yang dipatok sebesar Rp3.005,1 triliun.
Kontribusi terbesar masih datang dari sektor perpajakan, yang menyumbang Rp400,1 triliun—sekitar 16,1 persen dari total target pajak sebesar Rp2.490,9 triliun.
Rinciannya, penerimaan pajak non-kepabeanan tercatat Rp322,6 triliun (14,7 persen dari target Rp2.189,3 triliun), sementara dari bea cukai mencapai Rp77,5 triliun, atau 25,7 persen dari target Rp301,6 triliun.
Sementara itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencatat angka positif sebesar Rp115,9 triliun, atau 22,6 persen dari target tahunan Rp513,6 triliun—menjadi penopang penting di tengah lambatnya sektor pajak.
Belanja Negara Mengalir, Tapi Belum Maksimal
Di sisi belanja, pemerintah telah mengeluarkan Rp620,3 triliun atau 17,1 persen dari total pagu belanja Rp3.621,3 triliun. Belanja ini terbagi dalam dua komponen utama: belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp413,2 triliun (15,3 persen) dan Transfer ke Daerah Rp207,1 triliun (22,5 persen).
Belanja Pemerintah Pusat mencakup pengeluaran Kementerian dan Lembaga (K/L) sebesar Rp196,1 triliun (16,9 persen dari pagu Rp1.160,1 triliun), serta belanja non-K/L sebesar Rp217,1 triliun (14,1 persen dari pagu Rp1.541,4 triliun).
Sementara itu, Transfer ke Daerah menjadi instrumen penting dalam mendukung pembangunan di daerah, termasuk layanan publik.
Keseimbangan Primer Masih Surplus, Tapi Rentan Tekanan
Meski APBN mengalami defisit, Sri Mulyani menyebut bahwa keseimbangan primer—yakni selisih pendapatan dan belanja tanpa bunga utang—masih mencatat surplus Rp17,5 triliun. Ini menunjukkan bahwa secara operasional, negara masih sanggup membiayai kebutuhan belanja tanpa mengandalkan utang untuk bunga.
Namun demikian, target sebenarnya adalah defisit keseimbangan primer sebesar Rp63,3 triliun, yang artinya ada deviasi cukup besar. Bila pendapatan tak tumbuh signifikan atau belanja membengkak, tekanan terhadap fiskal bisa meningkat.
Pembiayaan Anggaran Sudah Capai 40 Persen
Untuk menutup defisit, pemerintah mulai merealisasikan pembiayaan anggaran. Hingga Maret 2025, realisasi pembiayaan sudah mencapai Rp250 triliun atau sekitar 40,6 persen dari kebutuhan pembiayaan tahunan.
“Kita tetap jaga agar APBN, utang, dan defisit dikelola secara hati-hati dan transparan,” tutup Sri Mulyani.