Manyala.co – Musim 2024/2025 tampaknya bukan periode terbaik bagi Real Madrid. Los Blancos sudah kehilangan dua peluang besar untuk meraih trofi. Mereka tumbang 2-5 dari Barcelona di final Supercopa de España, lalu tersingkir di perempat final Liga Champions setelah kalah agregat 1-5 dari Arsenal. Belum cukup sampai di situ, Real Madrid kembali harus mengakui keunggulan Barcelona dengan kekalahan 2-3 di final Copa del Rey.
Saat ini, satu-satunya harapan Real Madrid tinggal di LaLiga. Mereka mengumpulkan 72 poin, tertinggal empat angka dari Barcelona di puncak klasemen. Namun performa mereka di liga domestik pun belum meyakinkan, hanya menang tipis 1-0 atas Deportivo Alaves, Athletic Bilbao, dan Getafe.
Padahal, secara materi pemain, Real Madrid sangat bertabur bintang. Ada Vinicius Jr, Rodrygo Goes, Jude Bellingham, hingga Kylian Mbappe. Namun, proyek besar ini tetap dinilai kurang sukses. Mengapa?
1. Kehilangan Toni Kroos dan Tidak Ada Pengganti Seimbang di Lini Tengah
Salah satu titik lemah Madrid musim ini terletak di sektor gelandang. Pensiunnya Toni Kroos pada akhir musim lalu meninggalkan lubang besar. Kroos dikenal sebagai pemain yang memberi ketenangan, akurasi, dan penguasaan di lini tengah.
Sayangnya, Real Madrid gagal mencari pengganti sepadan. Komposisi lini tengah mereka kini didominasi gelandang bertipe petarung tanpa cukup kreativitas. Luka Modric yang masih bisa diandalkan sudah berusia 39 tahun dan tidak lagi sanggup tampil maksimal dalam setiap laga. Alhasil, kreativitas lini tengah Real Madrid menurun drastis.
Ketimbang memperkuat lini tengah, manajemen malah lebih fokus mendatangkan pemain depan seperti Kylian Mbappé dan Endrick. Hal ini membuat Carlo Ancelotti kesulitan menemukan formula gelandang ideal, dengan seringnya rotasi yang justru mengganggu stabilitas tim.
2. Minimnya Kerja Sama di Lini Serang
Kehadiran Mbappe diharapkan membuat lini serang Madrid semakin menakutkan. Namun di lapangan, kurangnya kekompakan di antara para penyerang kerap terlihat. Ego pemain dan kurangnya koordinasi membuat serangan Real Madrid sering buntu.
Selain itu, performa Rodrygo dan Bellingham juga mengalami penurunan drastis. Rodrygo, yang musim lalu mencetak 10 gol di LaLiga, kini baru mencetak 6 gol dari 30 laga. Sedangkan Bellingham, yang sebelumnya produktif dengan 19 gol, musim ini hanya mencatatkan 8 gol dari 27 penampilan.
3. Strategi Serangan Balik yang Tidak Efektif
Berbeda dengan Barcelona atau Manchester City yang mengedepankan penguasaan bola, Real Madrid lebih memilih gaya bermain reaktif. Carlo Ancelotti membiarkan pemainnya bermain bebas tanpa sistem permainan yang terstruktur ketat.
Namun, gaya serangan balik ini tak selalu berjalan efektif, terutama di laga-laga besar. Seperti saat melawan Arsenal di Liga Champions dan Barcelona di Copa del Rey. Kiper Thibaut Courtois sendiri mengakui bahwa ketika Vinicius Jr dan Mbappe dikunci ketat, Madrid tidak punya banyak solusi lain untuk menyerang.
Kekalahan di final Copa del Rey memperjelas masalah ini. Di babak pertama, Real Madrid hanya mampu melepaskan satu tembakan ke gawang. Gol baru tercipta melalui skema bola mati di babak kedua. Sementara pertahanan Madrid pun kurang solid hingga kebobolan dua gol di menit-menit akhir pertandingan.
Dengan kegagalan meraih trofi di Supercopa, Liga Champions, dan Copa del Rey, Real Madrid kini harus fokus penuh ke LaLiga. Pekan ke-35 nanti akan jadi laga krusial melawan Barcelona. Jika kalah, peluang Los Blancos untuk meraih gelar di musim ini semakin mengecil — dan proyek besar mereka di musim 2024/2025 benar-benar berpotensi berakhir tanpa satu pun trofi.