Manyala.co – Pemerintah tengah melakukan penyusunan ulang besar-besaran terhadap buku sejarah Indonesia, sebuah proyek ambisius yang melibatkan lebih dari 100 sejarawan dari berbagai institusi. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan bahwa revisi ini bukan hanya menyegarkan isi buku sejarah, tetapi juga memperbaiki narasi yang selama ini dianggap tidak akurat, termasuk soal klaim bahwa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun.
Menurut Fadli, narasi “350 tahun dijajah” merupakan penyederhanaan sejarah yang kurang mencerminkan realitas di lapangan. Ia menegaskan bahwa selama masa kolonial, banyak wilayah di Nusantara yang tidak sepenuhnya berada di bawah kendali Belanda dan justru menunjukkan perlawanan gigih dalam jangka waktu panjang.
“Kalau kita lihat, di banyak daerah seperti Aceh, Sumatera Barat, dan Jawa, perlawanan terhadap penjajah terus terjadi. Bahkan, Perang Diponegoro sendiri berlangsung cukup lama. Jadi, daripada terus mengulang bahwa kita dijajah selama 350 tahun, seharusnya kita mulai menyoroti semangat perlawanan rakyat Indonesia,” ujar Fadli dalam sebuah acara di Jakarta Selatan pada 6 Mei 2025.
Revisi buku sejarah ini dilakukan dengan pendekatan akademis yang ketat. Dipimpin oleh Prof. Dr. Susanto Zuhdy dari Universitas Indonesia, tim penulis berupaya memperkuat materi yang sudah ada, meluruskan kekeliruan, dan menambahkan temuan-temuan terbaru dari hasil penelitian mutakhir. Buku ini akan diterbitkan dalam beberapa jilid yang mencakup era prasejarah hingga masa kontemporer, dan ditargetkan rampung pada Agustus 2025 bertepatan dengan HUT ke-80 RI.
Peradaban Tertua di Nusantara dan Kedatangan Islam
Salah satu fokus utama revisi adalah periode prasejarah. Fadli menyebut bahwa sejumlah penemuan baru telah mengubah pandangan lama tentang usia peradaban di wilayah Indonesia. Contohnya, penelitian terbaru di Gua Leang-Leang, Maros, Sulawesi Selatan, mengungkap bahwa lukisan gua di sana berusia 40.000 hingga 52.000 tahun jauh lebih tua dari perkiraan sebelumnya yang hanya 5.000 tahun.
“Temuan seperti ini penting untuk ditambahkan agar kita punya gambaran yang lebih utuh mengenai sejarah panjang manusia di Nusantara,” ujar Fadli.
Selain itu, perhatian juga tertuju pada fase awal masuknya Islam ke wilayah Indonesia. Dalam pameran bertajuk “Misykat: Cahaya Peradaban Islam” di Museum Nasional pada April 2025, Fadli menyoroti penemuan koin Arab dari abad ke-7 Masehi di situs Bongal, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Temuan ini memperkuat hipotesis bahwa Islam masuk ke Indonesia jauh lebih awal dari yang selama ini diajarkan, yaitu melalui jalur perdagangan dan bukan lewat penaklukan.
“Peninggalan seperti koin, batu nisan berinskripsi Arab, dan artefak lain menunjukkan bahwa kawasan ini sudah menjadi simpul penting dalam jaringan perdagangan global sejak ratusan tahun lalu. Islam datang lewat interaksi budaya, bukan kekerasan,” jelas Fadli.
Mendalami Akar Sejarah untuk Masa Depan
Fadli menekankan pentingnya memahami sejarah secara menyeluruh, mulai dari masa prasejarah hingga era modern. Ia menilai bahwa pemahaman sejarah yang lemah berpotensi menjauhkan generasi muda dari akar identitasnya.
“Sejarah bukan untuk ditakuti, tapi untuk dipelajari. Jika kita ingin memahami situasi saat ini, kita harus memahami masa lalu,” ujarnya.
Pemerintah telah menyiapkan anggaran khusus untuk proyek besar ini, meski Fadli mengaku tidak hafal rinciannya. Ia menegaskan bahwa revisi ini akan menjadi fondasi baru bagi pembelajaran sejarah nasional yang lebih kaya, akurat, dan membanggakan.
Dengan pendekatan ilmiah, keterlibatan para pakar, dan semangat pelurusan narasi, proyek ini diharapkan bisa menghadirkan wajah baru sejarah Indonesia bukan sekadar deretan tanggal dan penjajahan, tetapi juga kisah perlawanan, kebudayaan, dan harmoni lintas zaman.