Manyala.co – Ketimpangan hukuman di dunia sepak bola Indonesia kembali jadi sorotan. Kali ini, kapten PSM Makassar, Yuran Fernandes, harus menerima kenyataan pahit: dihukum larangan beraktivitas selama 12 bulan oleh Komite Disiplin (Komdis) PSSI hanya karena mengkritik keras wasit dan kondisi liga. Ironisnya, hukuman ini bahkan lebih berat dari pemain lain yang melakukan kekerasan fisik terhadap wasit.
Awal Mula: Emosi Pasca Kekalahan
Segalanya bermula dari laga antara PSM Makassar dan PSS Sleman di lanjutan BRI Liga 1 awal Mei 2025. Dalam pertandingan tersebut, PSM kalah 1-3, dan Yuran sempat mencetak gol yang kemudian dianulir setelah wasit Nendi Rohaendi mengecek VAR. Keputusan kontroversial lain juga terjadi ketika wasit tetap mengesahkan gol PSS meskipun ada dugaan pelanggaran sebelumnya.
Kekecewaan Yuran tak terbendung. Di sesi jumpa pers, ia secara gamblang menyebut wasit berpihak kepada lawan. Bahkan ia menilai wasit tersebut tak layak memimpin pertandingan di Liga 1.
Namun yang benar-benar membuat heboh adalah unggahannya di Instagram keesokan harinya. Ia menuding sepak bola Indonesia penuh lelucon dan korupsi, menyarankan bahwa mereka yang ingin uang datang ke sini, tetapi yang ingin sepak bola serius sebaiknya menjauh.
PSSI Tak Terima, Erick Thohir Bereaksi
Pernyataan Yuran itu menyulut reaksi keras dari Ketua Umum PSSI, Erick Thohir. Ia menganggap kritik Yuran sebagai bentuk ketidakprofesionalan, apalagi datang dari pemain asing. Erick bahkan menyarankan Yuran untuk angkat kaki dari Indonesia jika sudah tidak betah bermain di sini.
Komdis pun turun tangan. Berdasarkan pasal 59 ayat 2 jo pasal 141 Kode Disiplin PSSI 2023, Yuran dijatuhi sanksi berat: dilarang terlibat dalam aktivitas sepak bola Indonesia selama satu tahun dan didenda Rp25 juta.
Bandingkan: Cekik Wasit Hanya 6 Bulan?
Yang membuat keputusan ini disorot bukan hanya karena panjangnya hukuman, tapi juga ketimpangan dengan kasus lain. Pada Februari 2025, pemain Persiraja Banda Aceh, Rizky Yusuf Nasution, hanya dijatuhi hukuman 6 bulan dan denda yang sama, meskipun ia terbukti mendorong, menanduk, bahkan mencekik wasit dalam pertandingan melawan PSPS Pekanbaru.
Perbandingan ini membuat publik mempertanyakan prioritas dan konsistensi PSSI. Apakah menyampaikan kritik lebih berbahaya daripada kekerasan terhadap perangkat pertandingan?
Yuran Klarifikasi, Tapi Tetap Dihukum Berat
Menanggapi reaksi yang menggelegar, Yuran akhirnya buka suara. Ia menyampaikan permintaan maaf dan menegaskan bahwa semua komentarnya ditujukan untuk aspek sepak bolanya saja, bukan untuk menghina negara Indonesia. Ia menyebut pernyataan itu muncul karena emosi setelah pertandingan penuh tekanan dan berharap PSSI bisa memperbaiki kualitas kompetisi.
Namun permintaan maaf itu tak mengubah keputusan. Komdis tetap pada hukuman awal.
Wasit di Pusaran Isu Pungli
Pernyataan Yuran soal korupsi di sepak bola Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Sejumlah laporan menunjukkan dugaan pungli dalam proses seleksi wasit. Pada pertengahan 2023, bahkan muncul rekaman suara yang mengungkapkan adanya pungutan liar kepada peserta seleksi wasit di Jawa Tengah. Nilainya bervariasi, dari Rp500 ribu untuk bocoran soal hingga Rp1 juta untuk “paket kelulusan”.
Akmal Marhali dari Save Our Soccer ikut mengangkat isu ini. Bahkan Bareskrim Polri sempat memanggil pihak PSSI untuk dimintai keterangan terkait dugaan pungli tersebut.
Kualitas Liga Masih Jauh dari Harapan
Meski Timnas Indonesia menunjukkan progres signifikan, kualitas liga domestik justru dinilai stagnan. Shin Tae-yong, eks pelatih Timnas, sudah lama menyerukan agar Liga Indonesia diperkuat demi mendukung performa tim nasional.
Faktanya, peringkat liga kita menurut AFC musim 2023/2024 hanya berada di posisi ke-28 hanya sedikit lebih baik dari Liga Korea Utara.
Erick Thohir sempat menyatakan akan “bersih-bersih” Liga 1 mulai pertengahan 2024. Tapi satu tahun hampir berlalu, belum ada perubahan signifikan yang benar-benar terasa di lapangan.
Akar Masalahnya: Ketegasan yang Selektif?
Kasus Yuran Fernandes membuka kembali pertanyaan lama: apakah PSSI tegas, atau justru pilih-pilih dalam menegakkan aturan? Jika kritik dianggap mencoreng nama baik sepak bola, lalu bagaimana dengan tindakan kekerasan yang nyata?
Publik, suporter, bahkan pelatih seperti Bernardo Tavares menuntut evaluasi menyeluruh terutama terhadap perangkat pertandingan. Bernardo bahkan meminta kepolisian untuk menyelidiki wasit Nendi Rohaendi.
Kini, mata publik tertuju pada PSSI dan Komdis. Apakah mereka benar-benar ingin membenahi sepak bola Indonesia, atau hanya sibuk menjaga citra dengan membungkam kritik?