Manyala.co – Penggunaan perangkat elektronik oleh terdakwa di dalam ruang tahanan kembali jadi sorotan setelah sidang cyang menjerat Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan. Kejaksaan Agung (Kejagung) menanggapi isu tersebut dan menyatakan bahwa penulisan nota pembelaan atau pleidoi dengan tulisan tangan bukanlah hal yang luar biasa.
“Sudah banyak terdakwa yang menulis pleidoi dengan tangan sendiri. Itu hal biasa,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung RI, Harli Siregar, dalam keterangannya kepada wartawan pada Selasa (3/6/2025).
Pernyataan ini merespons keberatan Tom Lembong yang menyusun sendiri pleidoinya secara manual setelah iPad dan laptop MacBook miliknya disita oleh petugas. Ia sebelumnya menjelaskan bahwa perangkat tersebut digunakan semata-mata untuk membantu menyusun dokumen pembelaan yang panjang serta membaca ribuan halaman berkas perkara dalam format digital.
“Saya manfaatkan itu sebagai alat bantu untuk menulis. Pleidoi saya nanti bisa puluhan halaman. Lagi pula, iPad dan MacBook adalah alat tulis digital, bukan benda berbahaya seperti korek api atau benda tajam,” kata Tom Lembong saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Senin (2/6).
Tom menambahkan, menggunakan tablet jauh lebih efisien ketimbang membaca tumpukan kertas. “Kalau teman-teman media lihat, berkas saya itu setinggi satu setengah meter. Lebih praktis dibaca dalam bentuk PDF di tablet,” jelasnya.
Namun Harli menegaskan bahwa keberadaan barang elektronik di ruang tahanan tetap melanggar aturan. “Penggunaan alat elektronik dan komunikasi di kamar tahanan itu memang dilarang. Kalau pun ada perangkat elektronik seperti televisi, itu hanya tersedia di luar kamar tahanan, bukan di dalamnya,” tegasnya.
Lebih lanjut, Kejagung kini sedang menyelidiki bagaimana dua perangkat milik Tom itu bisa masuk ke dalam sel tahanan. “Kami sedang lakukan investigasi, mencari tahu siapa yang memungkinkan alat-alat tersebut sampai bisa masuk ke ruang tahanan,” tambah Harli.
Sementara itu, dari pihak penuntut umum, penyitaan perangkat elektronik tersebut disampaikan secara resmi dalam persidangan lanjutan yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis (22/5). Jaksa mengajukan permohonan kepada majelis hakim untuk menyita iPad dan laptop MacBook yang ditemukan dalam razia di Rutan Salemba, cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
“Penuntut umum mohon izin untuk menyita satu unit iPad Pro warna silver dan satu unit MacBook warna silver milik terdakwa Thomas Trikasih Lembong,” ungkap jaksa di persidangan.
Ketika hakim mempertanyakan dasar hukum penyitaan di tahap penuntutan, jaksa berargumen bahwa penyitaan masih memiliki relevansi dengan proses penyidikan. “Kami duga perangkat tersebut berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani,” jawab jaksa.
Menanggapi itu, Tom menyatakan keberatan. Ia menilai tindakan penyitaan oleh jaksa tidak memiliki landasan yang kuat. “Yang berwenang melakukan penyitaan itu penyidik, sedangkan penyidikan sudah selesai. Penuntut umum tidak berwenang. Bahkan hakim juga bingung, atas dasar apa menyita? Karena menurut ketentuan, itu ranah pejabat rutan,” jelas Tom.
Meski begitu, Tom menegaskan akan mengikuti keputusan otoritas terkait. “Saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menaati keputusan otoritas berwenang. Saya serahkan semuanya,” tutupnya.
Sidang lanjutan itu sendiri sempat tertunda lantaran kondisi kesehatan Tom menurun, dengan suhu tubuh mencapai 38 derajat Celsius. Meski demikian, proses hukum tetap berjalan, dan isu penyitaan perangkat elektronik menjadi salah satu poin penting yang menyoroti standar perlakuan di dalam tahanan.
Kasus ini membuka kembali diskusi soal regulasi penggunaan alat digital di dalam ruang tahanan serta mekanisme pengawasan terhadap fasilitas yang digunakan oleh para tahanan. Pemerintah dan aparat penegak hukum kini diminta lebih transparan dan konsisten dalam menerapkan aturan demi menjaga integritas proses hukum yang sedang berjalan.