Manyala.co – Ketegangan kembali memuncak antara dua negara berkekuatan nuklir di Asia Selatan. Perdana Menteri India, Narendra Modi, dalam pidatonya baru-baru ini di New Delhi menyatakan bahwa air yang selama ini mengalir dari India ke luar negeri, akan sepenuhnya dialihkan untuk kepentingan domestik.
“Air India akan dipakai untuk India. Tidak akan mengalir keluar lagi,” kata Modi tegas, dalam pernyataan yang dikutip AFP, Rabu (7/5/2025). Meski tak menyebut Pakistan secara langsung, pernyataan tersebut muncul tak lama setelah India resmi menangguhkan Perjanjian Air Indus yang sudah berlangsung sejak 1960.
Perjanjian Indus yang Kini Hanya Sejarah
Perjanjian Indus, yang ditengahi oleh Bank Dunia dan sudah bertahan lebih dari enam dekade, mengatur pembagian air dari enam sungai yang sangat penting untuk pertanian dan konsumsi di Pakistan. Dengan penghentian sepihak dari India, Pakistan memperingatkan bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran serius dan bisa dianggap sebagai bentuk agresi militer.
Provinsi Punjab di Pakistan, sebagai pusat pertanian utama, disebut paling terdampak. Menteri Irigasi Punjab, Kazim Pirzada, menyampaikan bahwa perubahan volume air Sungai Chenab terjadi secara drastis dan mencurigakan. “Kami melihat perubahan aliran air yang tidak bisa dijelaskan secara alamiah. Satu hari normal, esoknya hampir kering,” ujarnya prihatin.
Sementara itu, sebuah laporan dari Jinnah Institute mengklaim bahwa India secara sengaja mengubah arah aliran air Sungai Chenab pada 26 April, menandai titik awal dari tindakan sepihak ini.
Dari Retorika ke Serangan Militer
Situasi yang sudah panas makin membara setelah India mengonfirmasi bahwa mereka telah meluncurkan operasi militer ke wilayah Pakistan, termasuk wilayah Kashmir yang dikuasai Islamabad. Dalam pernyataannya, pemerintah India menyebut bahwa mereka menargetkan sembilan lokasi yang disebut sebagai “infrastruktur teroris” di wilayah musuh.
Serangan ini adalah respon langsung atas serangan mematikan pada 22 April di Pahalgam, Kashmir yang dikelola India. Serangan tersebut menewaskan 26 wisatawan dan menjadi tragedi paling berdarah yang melibatkan turis di kawasan itu dalam lebih dari 20 tahun. Kelompok Front Perlawanan (TRF), yang dikaitkan dengan Lashkar-e-Taiba, sempat mengklaim bertanggung jawab namun kemudian mencabut klaimnya. India menuduh Pakistan berada di balik serangan itu, namun Islamabad membantah dan meminta penyelidikan independen.
Dunia Internasional Angkat Suara
Pernyataan keras datang dari Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, yang menyebut hubungan India-Pakistan kini berada di “titik didih”. Dalam pernyataan resminya, ia mendesak kedua negara untuk menunjukkan penahanan diri maksimal dan menghindari langkah yang bisa memicu konfrontasi berskala besar.
“Kita berada pada momen kritis. Konfrontasi militer hanya akan membawa kehancuran,” kata Guterres.
Trump Bereaksi: “Memalukan”
Dari Washington DC, mantan Presiden AS Donald Trump turut menanggapi kabar mengenai serangan India ke Pakistan. Saat ditanya oleh wartawan di Ruang Oval, Trump mengaku baru saja mengetahui informasi tersebut. Ia menyebut insiden itu sebagai sesuatu yang memalukan dan menyayangkan eskalasi konflik yang sudah berlangsung selama berabad-abad.
“Mereka sudah bertikai terlalu lama. Saya harap semuanya bisa segera berakhir dengan damai,” ujarnya, dikutip CNN International.
Departemen Luar Negeri AS menyatakan sedang memantau situasi dengan cermat, namun belum memberikan penilaian resmi karena keadaan masih terus berkembang.
Dimensi Strategis: Air Sebagai Senjata Politik
Modi bukan pertama kali mengangkat isu air sebagai alat tekanan terhadap Pakistan. Pada 2016, ia pernah menyatakan dengan nada tegas, “Darah dan air tak bisa mengalir bersama.” Kini, pernyataan itu tampaknya kembali menjadi kebijakan nyata. Pengalihan air dari sungai-sungai besar, seperti Chenab dan Indus, dapat menjadi senjata taktis dalam konflik yang semakin memanas.
Namun, ancaman India terhadap Pakistan tak hanya berdampak regional. India sendiri merupakan negara hilir dari Sungai Brahmaputra yang hulunya berada di Tibet, wilayah di bawah kendali China. Ini menempatkan India juga dalam posisi rawan secara geopolitik, terutama dalam isu sumber daya air lintas batas.