Manyala.co – Pemerintah menargetkan angka kemiskinan ekstrem di Indonesia bisa ditekan hingga nol persen pada tahun 2026. Namun, di balik ambisi tersebut, diperlukan kerja nyata yang melibatkan banyak pihak tidak cukup hanya dari sisi kebijakan pemerintah, tetapi juga harus melibatkan akademisi, tokoh lokal, hingga lembaga berbasis masyarakat seperti pesantren.
Hal tersebut menjadi sorotan utama dalam forum dialog terbuka bertajuk “Membangun Ekosistem Pemberdayaan Masyarakat Desa: Kolaborasi Pemerintah, Akademisi, dan Pesantren Menuju Nol Kemiskinan”, yang digelar di kampus III UIN Walisongo Semarang, Kamis (19/6/2025).
Forum tersebut dihadiri langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar. Dalam sambutannya, ia menekankan bahwa komitmen penghapusan kemiskinan ekstrem tidak bisa hanya dibangun dari atas ke bawah. “Kami sangat serius. Targetnya jelas, nol kemiskinan ekstrem pada 2026. Tapi ini tidak bisa dilakukan sendirian oleh pemerintah. Harus ada sinergi, dari akademisi, pesantren, hingga lembaga desa,” ujar Cak Imin, sapaan akrab Muhaimin.
Menurutnya, pesantren sebagai kekuatan sosial lokal memiliki akses langsung pada komunitas akar rumput dan memahami kebutuhan masyarakat secara riil. Di sisi lain, kampus dan dunia akademik memiliki kapasitas dalam riset, data, dan penyusunan strategi kebijakan. Oleh sebab itu, keterlibatan aktif dua pilar ini sangat dibutuhkan untuk menciptakan perubahan yang nyata di desa.
Salah satu agenda penting dalam forum tersebut adalah menyusun pendekatan kolaboratif berbasis kelembagaan untuk memperkuat daya saing desa. Fokus diskusi mencakup bagaimana desa bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi lokal, memperkuat ketahanan masyarakat dari ketimpangan struktural, serta mengoptimalkan peran pesantren dalam membina komunitasnya secara sosial dan ekonomi.
Deputi Bidang Koordinasi Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daerah Tertinggal, dan Daerah Tertentu Kemenko Pemberdayaan Masyarakat, Prof. Abdul Haris, turut hadir sebagai pembicara. Ia menyebutkan bahwa pencapaian target penghapusan kemiskinan ekstrem membutuhkan sinergi yang tidak biasa—yakni sinergi antar-lembaga yang saling memperkuat. “Kuncinya adalah ekosistem kelembagaan yang saling mendukung. Pemerintah, pesantren, dan kampus harus bergerak bersama untuk mempercepat pengentasan kemiskinan,” ucap Prof. Haris.
Sementara itu, Rektor UIN Walisongo Semarang, Prof. Dr. Nizar, memberikan respons positif terhadap agenda kolaboratif ini. Ia menyampaikan bahwa lembaga pendidikan Islam modern seperti UIN memiliki tanggung jawab ganda, bukan hanya sebagai pusat akademik, tetapi juga sebagai ruang pengabdian langsung kepada masyarakat. “Pendidikan harus bisa hadir sampai ke tingkat pemberdayaan masyarakat, tidak cukup hanya berkutat dalam ranah teoritik,” katanya.
Ia menambahkan bahwa UIN Walisongo telah lama menjadi ruang inklusif bagi santri dan masyarakat luas, dan kini semakin relevan dalam menyikapi tantangan sosial di tingkat desa. Menurutnya, kampus harus mulai turun tangan membantu desa untuk merumuskan program berbasis data, mendampingi masyarakat, dan membangun ekosistem sosial yang mandiri.
Dialog terbuka ini juga menjadi bagian dari pelaksanaan Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Forum ini diharapkan menjadi titik tolak lahirnya gagasan konkret dan kerja sama lintas sektor yang bisa langsung dieksekusi di lapangan.
Diskusi panel yang berlangsung menghadirkan berbagai narasumber dari unsur akademisi, pejabat pemerintah daerah, tokoh pesantren, hingga perwakilan Kementerian Agama. Seluruh pihak sepakat bahwa pengentasan kemiskinan ekstrem bukan hanya tugas kementerian atau dinas terkait, tetapi perlu diangkat sebagai gerakan nasional dengan basis kolaborasi.
Muhaimin juga menyinggung pentingnya menjaga keberlanjutan dari program-program yang sudah berjalan. Ia berharap pendekatan berbasis komunitas lokal bisa menjadi kekuatan utama untuk menciptakan desa yang tangguh secara ekonomi dan sosial. “Kalau kita bicara soal angka nol kemiskinan ekstrem, maka kita bicara tentang bagaimana desa menjadi pusat ketahanan masyarakat. Bukan hanya target statistik, tapi perubahan nyata yang dirasakan langsung oleh warga desa,” pungkasnya.
Dengan semangat kolaborasi dan kerja konkret di lapangan, target ambisius penghapusan kemiskinan ekstrem pada 2026 tidak lagi menjadi sekadar slogan, tapi bisa menjadi peta jalan yang terukur dan realistis.