Manayala.co – Penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) dinilai berpotensi terus-menerus berlarut apabila tidak diikuti dengan pembatasan mekanisme pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Selain memicu ketidakpastian hukum, situasi ini menyebabkan sejumlah daerah tak kunjung memiliki kepala daerah definitif lantaran berulang kali harus menjalankan pemungutan suara ulang (PSU).
Isu ini menjadi sorotan utama dalam diskusi publik bertema “Perselisihan Hasil Pilkada Pasca-PSU: Hakim MK Menghentikan atau Melanjutkan Moral Hazard dalam Pilkada?” yang digelar oleh Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi di Jakarta, Sabtu (3/5/2025).
Lonjakan Gugatan dan Repetisi Masalah
Setelah Pilkada 2024, Mahkamah Konstitusi tercatat menangani 310 perkara sengketa hasil pilkada. Dari total itu, 26 gugatan dikabulkan, dengan 24 di antaranya berujung pada perintah PSU, satu kasus rekapitulasi ulang, dan satu lainnya koreksi administratif hasil penghitungan suara.
Menurut peneliti Perludem, Haykal, angka tersebut meski terlihat kecil dibandingkan jumlah total 545 daerah, tetap patut menjadi perhatian. Apalagi, dari 24 daerah yang diperintahkan untuk mengulang pemungutan suara, sebanyak 14 di antaranya diwajibkan melakukan PSU di seluruh tempat pemungutan suara (TPS), layaknya mengulang keseluruhan proses pilkada.
“Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pilkada masih menyimpan masalah mendasar, terutama menyangkut profesionalitas penyelenggara,” ujar Haykal.
Ia menambahkan bahwa berbagai gugatan diajukan karena isu-isu serius seperti ketidaklengkapan syarat calon, lemahnya pengawasan terhadap pelanggaran, serta praktik politik uang. Dalam 11 kasus, bahkan terjadi diskualifikasi pasangan calon dalam PSU, antara lain di Kabupaten Pasaman, Bengkulu Selatan, dan Tasikmalaya.
PSU Bukan Solusi Tuntas
Ironisnya, PSU yang dimaksudkan sebagai bentuk koreksi ternyata belum mampu menuntaskan persoalan yang ada. Dari 19 daerah yang sudah menjalankan PSU, muncul lagi 13 gugatan baru dari 11 wilayah. Artinya, persoalan lama justru kembali terulang, mulai dari politik uang, rendahnya partisipasi pemilih, hingga lemahnya pengawasan oleh Bawaslu.
Haykal mengkritik pelaksanaan PSU yang cenderung formalitas, hanya demi menjalankan putusan MK, tanpa upaya nyata memperbaiki akar permasalahan. “Prosedurnya jalan, tapi substansinya tak berubah. Ini masalah serius,” katanya.
Kepastian Hukum Jadi Taruhan
Mantan Komisioner KPU, Ida Budhiati, menyuarakan kekhawatiran serupa. Ia menekankan pentingnya MK dalam memastikan adanya batasan dan ukuran yang jelas untuk menerima atau menolak perkara. Tanpa itu, proses PHP bisa terus berulang tanpa ujung.
“Gugatan bisa saja diajukan berkali-kali jika tidak ada batasan yang tegas. Ini bisa menciptakan moral hazard baru,” ujar Ida.
Menurutnya, meskipun MK memiliki ruang untuk mempertimbangkan keadilan substantif, hal tersebut tidak boleh mengabaikan aspek kepastian hukum, yang merupakan prinsip utama dalam sistem hukum nasional. Ida menilai bahwa putusan MK Nomor 137/PHP.BUP-XIX/2021 yang menetapkan bahwa perkara hanya bisa dilanjutkan jika ada pelanggaran terhadap asas jujur dan adil, masih menyisakan celah interpretasi.
Evaluasi Pemilu Tak Bisa Hanya Lihat Angka Partisipasi
Di sisi lain, Ray Rangkuti, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, mengkritisi cara keberhasilan pemilu selama ini diukur. Ia menilai bahwa angka partisipasi pemilih tidak bisa menjadi satu-satunya tolok ukur. Menurutnya, tingginya partisipasi pun bisa jadi dipicu oleh praktik politik uang atau pemberian imbalan.
“Kita tak bisa terus menerus membanggakan elektoral yang katanya demokratis, jika isinya hanya daur ulang dari praktik curang yang sama,” kata Ray.
Kesimpulan: Butuh Reformasi Serius
Diskusi tersebut memperlihatkan bahwa sengketa pilkada tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan prosedural. Tanpa pembatasan yang tegas dalam pengajuan gugatan dan peningkatan integritas serta profesionalitas penyelenggara, pemilu akan terus menjadi ajang penuh keraguan. Di sisi lain, MK juga diharapkan mampu menyeimbangkan keadilan substansial dengan kepastian hukum demi menjaga legitimasi pemilu yang demokratis dan berintegritas.