Manyala.co – Pemerintah kembali menunjukkan komitmennya dalam melindungi kelompok masyarakat yang paling terdampak tekanan ekonomi global. Melalui kebijakan stimulus ekonomi senilai Rp 24,44 triliun yang dijalankan selama periode Juni hingga Juli 2025, negara hadir dengan pendekatan yang menyasar langsung kebutuhan rumah tangga kelas menengah bawah.
Salah satu kebijakan yang menonjol adalah penyaluran Bantuan Subsidi Upah (BSU) kepada lebih dari 17 juta pekerja dengan penghasilan di bawah Rp 3,5 juta. Kelompok ini terdiri dari pekerja sektor ritel, manufaktur garmen, jasa, hingga pekerja informal yang telah tercatat sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Meskipun jumlah bantuan tunai yang diberikan hanya sebesar Rp 600 ribu dan dibagi dalam dua tahap, dampaknya terhadap konsumsi rumah tangga sangat signifikan. Uang tersebut bisa membantu biaya pendidikan anak, pembelian kebutuhan pokok, atau pengeluaran rumah tangga lainnya. Terlebih lagi, penyaluran bantuan ini disebut menggunakan data penerima yang telah tervalidasi dengan baik sehingga risiko keterlambatan distribusi maupun penyalahgunaan bisa ditekan.
Tak berhenti di situ, pemerintah juga menargetkan sektor transportasi sebagai bagian dari upaya menjaga daya beli masyarakat saat momen libur sekolah. Mulai dari diskon 30 persen untuk tiket kereta api, pengurangan PPN untuk tiket pesawat kelas ekonomi, diskon 50 persen untuk kapal laut, hingga potongan tarif tol sebesar 20 persen selama bulan Juni dan Juli, semuanya dirancang untuk meringankan beban mobilitas keluarga di masa liburan.
Kebijakan ini tidak hanya berdampak positif pada keluarga pengguna transportasi, tetapi juga turut mendorong aktivitas di sektor pariwisata dan jasa transportasi, khususnya di wilayah yang selama ini mengandalkan momen liburan sebagai pendorong utama ekonomi lokal.
Di sisi lain, kelompok masyarakat miskin yang telah terdaftar sebagai penerima Program Kartu Sembako juga mendapatkan perhatian khusus dalam paket kebijakan ini. Mereka menerima tambahan bantuan tunai sebesar Rp 200 ribu per bulan serta beras gratis sebanyak 20 kilogram. Pemerintah tampak berhati-hati dalam menyalurkan bantuan pangan agar tidak berdampak buruk pada harga di tingkat petani, menjaga keseimbangan antara kebutuhan konsumen dan kelangsungan hidup produsen kecil di pedesaan.
Meski kebijakan ini banyak menuai apresiasi, sejumlah catatan perbaikan juga perlu diperhatikan. Salah satunya adalah wacana perluasan cakupan penerima BSU kepada para pekerja informal yang belum terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan namun memiliki tingkat kerentanan ekonomi yang serupa. Selain itu, stimulus serupa juga diharapkan dapat menjangkau pelaku usaha mikro, pekerja lepas (freelance), dan pelaku UMKM yang banyak terdampak oleh menurunnya daya beli masyarakat.
Langkah lanjutan lain yang dinilai penting adalah memperluas insentif transportasi ke momen-momen libur besar lainnya, seperti hari raya atau musim panen, yang bisa menjadi pendorong ekonomi daerah, terutama di luar Pulau Jawa. Tak kalah penting, integrasi sistem digital antara data penerima bansos, subsidi, dan profil pekerja informal juga menjadi langkah strategis yang harus dibangun agar kebijakan publik di masa depan bisa lebih tepat sasaran.
Stimulus ekonomi yang digulirkan pada Juni-Juli 2025 ini mencerminkan langkah konkret dari pemerintahan Prabowo dalam mendukung kelompok produktif yang selama ini kerap terpinggirkan dalam program bantuan sosial. Kelompok kelas menengah bawah—yang tidak tergolong miskin namun juga belum cukup mapan—akhirnya mendapat perhatian yang layak.
Dalam konteks lebih luas, kebijakan ini bisa dibaca sebagai bagian dari visi besar pemerintahan yang tertuang dalam Astacita, yaitu strategi pembangunan nasional jangka panjang. Negara tidak hanya memberikan bantuan sesaat, tapi juga berupaya membangun ketahanan ekonomi dan sosial rakyat secara menyeluruh.
Pada akhirnya, langkah ini menjadi simbol bahwa pemerintah tidak hanya hadir untuk elit atau mereka yang sudah mapan, tapi juga untuk rakyat pekerja yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia.