Manyala.co – Setiap 17 Mei, Indonesia memperingati Hari Buku Nasional sebuah momen yang seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai rutinitas seremonial, tetapi juga sebagai waktu reflektif untuk menilai sejauh mana budaya literasi tumbuh di tengah masyarakat. Sayangnya, kondisi literasi kita masih berada dalam titik yang mengkhawatirkan.
Laporan Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2022 mencatat, Indonesia berada di peringkat ke-70 dari 81 negara dalam aspek kemampuan membaca. Sementara itu, UNESCO mengungkapkan hanya 1 dari 1.000 penduduk Indonesia yang memiliki kebiasaan membaca secara aktif. Fakta ini mencerminkan rendahnya minat dan budaya literasi di tanah air, sebuah tantangan serius yang bukan hanya menyangkut dunia pendidikan, tetapi juga masa depan demokrasi.
Dalam konteks demokrasi elektoral, khususnya Pilkada, literasi memainkan peran vital. Literasi bukan sebatas kemampuan membaca atau mengenali huruf, melainkan mencakup kecakapan berpikir kritis, memilah informasi, hingga membuat keputusan yang bijak. Minimnya literasi membuat masyarakat mudah terjebak dalam politik transaksional, praktik manipulatif, hingga gagal dalam menilai integritas dan kapasitas calon pemimpin daerah.
Bukti nyata terlihat dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 2024, yang mencatat sedikitnya 26 kasus pemungutan suara ulang (PSU) dalam Pilkada Serentak akibat pelanggaran administratif hingga dugaan manipulasi suara. Salah satu contoh mencolok terjadi dalam sengketa Pilkada Barito Utara yang bergulir di Mahkamah Konstitusi, di mana praktik politik uang yang terstruktur, sistemik, dan masif terungkap secara terang-terangan.
Realitas ini menunjukkan adanya defisit literasi politik di level akar rumput. Banyak pemilih belum cukup memiliki kemampuan untuk mengevaluasi rekam jejak dan visi-misi calon kepala daerah secara objektif. Kerap kali keputusan memilih didasarkan pada iming-iming materi atau sentimen sesaat, bukan penilaian rasional.
Dalam kerangka konstitusional, persoalan literasi sejatinya juga merupakan tanggung jawab negara. Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dalam Pembukaan dan Pasal 31, secara tegas mengamanatkan pentingnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Literasi politik sebagai bagian dari pendidikan kewargaan yang efektif adalah prasyarat mutlak bagi tumbuhnya demokrasi yang sehat.
Carole L. Hahn, seorang pakar pendidikan kewarganegaraan, menyebut bahwa literasi politik mencakup pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang dibutuhkan warga negara untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses demokrasi. Maka dari itu, memperkuat literasi tidak bisa dilakukan secara instan, melainkan harus menjadi bagian dari pembangunan berkelanjutan, termasuk dalam reformasi kelembagaan politik dan pendidikan.
Pendidikan politik berbasis partisipasi harus dirancang sebagai program jangka panjang. Ini bukan hanya menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan formal, tapi juga partai politik, penyelenggara pemilu, dan organisasi masyarakat sipil. Momentum Hari Buku Nasional bisa menjadi titik awal yang tepat untuk memulai kampanye literasi politik yang luas dan mendalam.
Upaya peningkatan literasi digital juga penting, khususnya di wilayah 3T (tertinggal, terluar, dan terpencil). Pengembangan perpustakaan digital, pelatihan literasi media, hingga penguatan jurnalisme warga bisa menjadi jalan keluar untuk memperluas akses dan partisipasi informasi di daerah-daerah.
Di tingkat komunitas, gerakan literasi berbasis masyarakat desa sangat potensial. Gerakan akar rumput ini penting karena perubahan budaya baca tidak akan bertahan jika hanya dipaksakan dari atas. Perlu sinergi lintas sektor pemerintah, media, lembaga pendidikan, dan tokoh lokal untuk menciptakan lingkungan yang mendorong tradisi berpikir kritis dan menghargai informasi yang berkualitas.
Perpustakaan, dalam hal ini, bukan hanya ruang fisik untuk menyimpan buku, tapi juga simbol dari harapan, kesempatan, dan peradaban demokratis. Seperti dikatakan Vartan Gregorian, mantan Presiden Perpustakaan Umum New York, perpustakaan adalah lambang dari kemajuan, kebebasan berpikir, kesetaraan, dan keterlibatan sipil. Oleh karena itu, membangun literasi berarti membangun fondasi demokrasi.
Tanpa masyarakat yang terinformasi dengan baik, rasional dalam menilai, dan aktif dalam mengawasi, maka Pilkada hanya akan menjadi ritual lima tahunan yang kehilangan makna substantif. Kita perlu kembali membaca ulang tujuan pendidikan dalam konteks negara hukum demokratis: tidak hanya mencetak pekerja, tapi juga membentuk warga negara yang sadar akan hak dan tanggung jawabnya.
Hari Buku Nasional bisa menjadi pintu masuk untuk menciptakan kesadaran kolektif bahwa literasi bukan soal membaca semata, melainkan tentang merawat nalar, menumbuhkan partisipasi aktif, dan memperkuat demokrasi dari akar. Literasi adalah jalan panjang menuju pemilu yang adil dan bermartabat.