Manyala.co – Penahanan ijazah oleh perusahaan dan lembaga pendidikan masih menjadi praktik yang terus berlangsung di berbagai daerah, meski telah lama dianggap melanggar hak asasi manusia. Di tengah seruan akan keadilan dan pemerataan pendidikan serta perlindungan pekerja, fenomena ini mencuat kembali, menimbulkan pertanyaan besar: mengapa praktik ini masih terus dibiarkan?
Ribuan Ijazah Ditahan Sekolah, Pemerintah Harus Turun Tangan
Di Jakarta, misalnya, hingga awal Mei 2025, tercatat lebih dari 6.600 ijazah siswa tertahan di berbagai sekolah, terutama swasta. Pemerintah hanya mampu menebus 488 di antaranya, meski insiden ini terjadi bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Penahanan tersebut umumnya disebabkan oleh tunggakan biaya administrasi sekolah seperti iuran, biaya ujian, atau sumbangan pengembangan.
Ironisnya, tindakan sekolah yang menahan dokumen resmi kelulusan siswa justru dapat menghambat masa depan anak-anak tersebut. Mereka kesulitan melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, membuat dokumen kependudukan, hingga melamar pekerjaan. Secara hukum, ijazah adalah hak penuh siswa setelah menyelesaikan pendidikannya tidak dapat ditahan dengan alasan apa pun. Hal ini ditegaskan dalam Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek, meski kini lembaga tersebut telah terpecah dalam struktur pemerintahan baru era Presiden Prabowo.
Masalah ini bukan hanya terjadi di Jakarta. Di Yogyakarta, ratusan siswa mengalami hal serupa, dan di Jawa Timur kasus serupa terus ditangani. Meski sanksi administratif dapat diberikan oleh pemerintah daerah, dalam kasus tertentu penahanan ijazah bisa masuk ranah pidana, misalnya jika memenuhi unsur pemaksaan atau penggelapan berdasarkan KUHP.
Praktik Ilegal oleh Perusahaan: Studi Kasus Surabaya
Sementara itu di sektor ketenagakerjaan, praktik menahan ijazah oleh perusahaan juga mencuat, seperti yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur. Di kota ini, lebih dari 40 mantan karyawan dari sejumlah perusahaan, termasuk UD Sentoso Seal, melaporkan penahanan ijazah mereka kepada pemerintah dan kepolisian. Kasus paling menonjol terjadi saat seorang eks-karyawan mengadu kepada Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, yang kemudian melakukan inspeksi langsung dan mempublikasikan temuannya di media sosial hingga viral.
Pemerintah Kota Surabaya merespons cepat dengan membuka posko pengaduan dan memberikan pendampingan hukum. Wali Kota Eri Cahyadi sendiri mengarahkan agar kasus ini dilaporkan ke kepolisian. Sementara itu, pengelola UD Sentoso Seal, pasangan Jan Hwa Diana dan Hendy Soenaryo, malah sempat melaporkan balik Armuji ke Polda Jatim sebelum akhirnya mencabut laporannya.
Dalam proses penyelidikan, Polda Jatim menyatakan bahwa kasus ini masih dalam tahap pengumpulan keterangan dan bahwa semua pihak yang terlibat masih berstatus saksi. Pasangan pengelola UD Sentoso Seal sendiri dilaporkan atas tiga dugaan tindak pidana: penipuan lowongan kerja, pemaksaan dalam proses rekrutmen, serta penggelapan dokumen milik eks karyawan.
Celah Hukum dan Ketimpangan Relasi Kuasa
Sayangnya, secara nasional belum ada aturan eksplisit dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang melarang penahanan ijazah oleh perusahaan. UU Cipta Kerja pun tidak memuat klausul tegas soal ini. Praktik tersebut bisa terjadi jika tertulis secara sah dalam perjanjian kerja. Namun, dalam praktiknya, posisi tawar pekerja sering kali lemah, membuat mereka terpaksa menyetujui ketentuan yang merugikan.
Di sinilah pentingnya regulasi daerah. Provinsi Jawa Timur sudah memiliki Perda Nomor 8 Tahun 2016 yang secara tegas melarang perusahaan menahan dokumen pribadi seperti ijazah, KTP, hingga akta kelahiran. Peraturan seperti ini sangat penting agar perusahaan tidak semena-mena dan pekerja terlindungi secara hukum.
Upaya Penyelesaian dan Mitigasi
Meski banyak kasus diselesaikan melalui mediasi, pemerintah harus mengambil langkah lebih konkret. Di Surabaya, dari 26 laporan penahanan ijazah oleh berbagai perusahaan, 13 berhasil diselesaikan secara diam-diam melalui pendekatan mediasi demi menghindari kegaduhan. Namun, penyelesaian semacam ini tidak boleh menjadi kebiasaan, karena berisiko mengaburkan akar masalah dan mencegah efek jera.
Di sisi pendidikan, penyelesaian administrasi harus diikuti dengan pembaruan regulasi yang lebih kuat. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, serta Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi yang baru dibentuk, perlu segera menyusun aturan yang tegas, dengan sanksi yang jelas bagi sekolah yang melanggar.
Pemerintah daerah juga bisa mengalokasikan anggaran khusus untuk menebus ijazah siswa miskin yang belum bisa melunasi kewajiban finansial mereka. Langkah ini penting untuk menjamin akses pendidikan yang adil dan tanpa hambatan administratif.
Ijazah bukan sekadar selembar kertas, tapi dokumen penting yang menentukan masa depan seseorang. Menahannya atas alasan tunggakan atau jaminan kerja bukan hanya praktik keliru, tetapi bentuk perampasan hak. Baik oleh sekolah maupun perusahaan, penahanan ijazah harus dilihat sebagai bentuk pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang tidak boleh ditoleransi. Dibutuhkan keberanian politik, regulasi yang kuat, serta kesadaran publik untuk menghentikan praktik ini secara total.